A.
Problematika Usia Dini dalam
Pernikahan Islam
Isu pernikahan dini saat ini muncul di bicarakan kembali. Hal ini
di picu oleh pernikahan Pujono Cahyo Widianto (Syeikh Puji), seorang hartawan
sekaligus pengasuh pesantren, dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan pria berusia 43
tahun dengan gadis belia berusia 12
tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan para
pengamat berlomba memberikan opini yang berada menyudutkan Syekh Puji. Umumnya
komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negativ. Di sisi lain,
Syekh Puji, begitu ia akrab disapa, berdalih untuk mengader calon pengurus
perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena di anggap masih murni
dan belum terkontaminasi arus mordenisasi. Lagi pula, dalam pandangan Syekh
Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama[1].
Kalau ditelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal
yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa nenek
moyang kita dulu banyak yang menikahi di bawah umur. Bahkan-zaman
dulu-pernikahan diusia “matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata
masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan
miring atau lazim disebut perawan kaseb
(tua). Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju
dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah pada
usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan, lebih jauh lagi, hal itu
dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus aktivitasnya, serta
mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Terlepas semua itu, maslah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang
sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali
muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari dahsyatnya benturan ide yang terjadi
antara sarjana islam klasik dalam merespon kasus tersebut. Pendapat yang
digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa Menurutnya, nilai esensial pernikahan
adalah memenuhi kebutuhan biologis dan melanggengkan keturunan, dan kedua hal
ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan
pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kukungan teks dan
memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan cultural yang ada.
Oleh karena itu, dalam menyikapi pernikahan Nabi SAW. Dengan Aisyah (yang saat
itu berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi
Nabi SAW. Yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya mayoritas pakar hukum
Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi
dari Q.S At-Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula,
pernikahan dini merupakan hal yang lumrah dikalangan sahabat. Bahkan sebagian
ulama menyatakan bahwa pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi consensus
pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari
sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak di anggap. Selain
itu,kontruksi hukum yang dibangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan muda
terpatahkan.
Imam Jalaludin Sayuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik
dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah “ Ada tiga perka yang tidak boleh diakhirkan, yaitu shalat ketika datang
waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah)
orang yang setara/kafaah.” Hadis Nabi kedua adalah, “Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang memepunyai anak perempuan
berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, anak itu berdosa dan dosa tersebut di bebankan atas orang tua
nya.[2]
Pada
hakikatnya, pernikahan dini juga mempunyai sisi positif karena saat ini pacaran
yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma
agama. Kebebasan yang sudah melampaui batas, dan akibat kebebasan itu kerap
kita jumpai menyebabkan tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini
menunjukan betapa moral bangsa ini suadah sampai pada taraf yang
memprihatinkan. Menurut penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk
meminimalisasikan tindakan-tindakan negative tersebut. Daripada terjerumus
dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika suadah ada yang siap untuk
bertanggung jawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak? Pernikahan
dini sulusi alternativ yang pas.
Lalu, bagaimana sebenarnya batasan usia baligh sebuah perkawinan
dalam Islam. Memang benar sebagian negara Islam masih memberlakukan usia dini
sebagaimana yang diterapkan Rasulullah SAW., tetapi sebagian besar pula Negara
Islam tidak menerapkan kreteria usia pernikahan tersebut. Paparan selanjutnya
akan menguraikan secara teperinci batasan usia baligh pernikahan dalam islam
sehingga tidak dikategorikan sebagai usia dini pernikahan secara keseluruhan.
B. Kreteria Usia Baligh Menurut Fuqaha
Secara tersurat, dalam Al-Qur’an tidak akan di temukan ayat yang
berkaitan dengan batasan usia perkawinan, tetapi jika diteliti lebih lanjut,
ada dua ayat Al-Qur’an, yaitu surah An-Nur ayat 32 dan surat An-Nisa’ ayat 6
yang memiliki korelasi denagna usia baligh terutama pada kata-kata shalihin dan rusydan.
Artinya: “Dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur[24]:32).[3]
Dalam tafsir Al-Maraghi, kata
wassalihin dimaknai sebagai laki-laki
atau perempuan yang mampu untuk menikahi dan menjalankan hak-hak suami istri,
seperti berbadan sehat, mempunyai harta, dan lain-lain. Quraysh Shihab
menafsirkan wassalihin, yaitu seseorang
yang mampu secara mental dan spiritual untuk memebina rumah tangga, bukan dalam
arti taat beragama, karna fungsi perkawinan memerlukan persiapan, tidak hanya
materi, tetapi juga kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon suami
maupun calon istri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indikator kesehatan mental
seseorang itu sangat berkaitan dengan usia seseorang. Secara logika umum, orang
yang sehat mental dan dewasa adalah orang yang usianya lebih dari anak-anak
atau dapat dikatakan, matang secara kejiwaan dan pemikiran. Kata Shalihin, memberi petunjuk bahwa
pernikahan dalam Islam memiliki syarat meskipun bersifat umum. Kedewasaan dan
kematangan identik dengan usia seseorang. Kata Shalihin sebagai cikal bakal dalam proses penetapan usia baligh
sebuah pernikahan.
Kajian usia baligh dapat lacak kembali pada kata rusydan dalam surat An-Nisa’ ayat 6 sebagai berikut.
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuø9$# #Ó¨Lym #sÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷$$sù öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( wur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçy9õ3t 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uù=sù ( `tBur tb%x. #ZÉ)sù ö@ä.ù'uù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sÎ*sù öNçF÷èsùy öNÍkös9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkôr'sù öNÍkön=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7Å¡ym ÇÏÈ
Artinya: “Dan ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih
dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya)
sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka
hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa
yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai
Pengawas (atas persaksian itu).” (Q.S. An-Nisa’ [4]:6)[4]
Begitu pula dalam tafsir Al-Misbah, maka kata dasar rushdan adalah ketetapan dan kelurusan
jalan. Dari sini, lahir kata rushd yang
bagi manusia adalah kemampuan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap
dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi
menafsirkan dewasa (rushdan), yaitu apabila sesorang
memahami baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedangkan balighu al-nikah ialah jika umur telah
siap untuk menikah. Ini artinya Al-maraghi
menginterpretasi bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh di bebani
persoalan-persoalan tertentu. Menurut Rasyid Ridha, kalimat balighu al-nikah menunjukan bahwa usia
seseorang untuk menikah, yakni sampai ia bermimpi. Pada umur ini, sesorang
telah bisa melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya
untuk menikah. Kepadanya juga dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan
muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu, rushdan adalah
kepantasan seseorang dalam ber-tasarruf
serta mendatangkan kebaikan.
Tafsiran pada kata Shalihin
dan rusydhan memberikan sinyal yang
kuat bahwa kedewasaan atau baligh identik dengan usia seseorang secara umum.
Dalam hal ini, Al-Qur’an hanya memberikan isyarat umum tentang cara menetapkan
seseorang itu baligh atau tidak baligh. Penafsiran kedua ayat di atas
menunjukan bahwa kedewasaan dapat di
tentukan dengan mimpi dan rushdhan, tetapi
rusdhan dan umur kadang-kadang tidak
sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi ada kalanya belum rushdan dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan
dalam perbuatan sehari-hari. Oleh karenaitu, kedewasaan pada dasarnya dapat di
tentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda. Dalam hadis yang
diriwayatkan Aisyah disebutkan.[5]
”Dari Aisyah r.a dari nabi
SAW. bersabda, “terangkat qalam ( pertanggungjawaban ) dari tigal hal, orang
yang tidur hingga ia terbangun, anak kecil hingga ia mimpi, dan orang gila
hingga ia siuman (sembuh) dan sadar.” (H.R. Ahmad dan Empat Imam, kecuali
Tirmidzi)
Makna esensial hadis diatas secara tersurat tidak mengisyaratkan batas usia baligh. Ia hanya menjelaskan
tanda-tanda baligh (alamatuhu al-baligh),
seperti mimpi bagi anak laki-laki dan haid bagi perempuan. Secara eksplisit,
para fuqaha tidak sepakat terhadap batas
usia baligh bagi seseorang itu belum tentu menunjukan kedewasaannya, dengan
alas an beberapa pendapat mazhab berikut.
Menurut sebagai fuqaha, ketentuan baligh maupun dewasa bukanlah
persoalan yang di jadikan pertimbangan boleh tidaknya seseorang untuk
melaksanakan perkawinan. Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Hanbali
berpendapat bahwa ayah boleh mengawinkan anak perempuan kecil yang masih
perawan (belum baligh), demikian juga
neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Adupu Ibn Hazm dan Shubromah
berpendapat bahwa ayat tidak boleh mengawinkan anak perempuan yang masih kecil,
kecuali ia sudah dewasa dan mendapat izin dari padanya.
Fakta sejarah memperlihatkan bahwa batsan usia perkawinan
dicontohkan oleh perkawinan Nabi SAW. dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15
tahun sebagaimana hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abu Kuraib
Artinya: “Rasulullah SAW.
menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia enam tahun, dan beliau menboyongnya
ketika ia berusia Sembilan tahun dan beliau wafat pada waktu ia berusia 18
tahun.” ( H.R Muslim ).
Adapun batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar:
Artinya: “Aku telah
mengajukan diri kepada Nabi SAW., untuk ikut Perang Uhud ketika aku berumur 14
tahun, dan beliau tidak mengizinkan aku. Aku mangajukan diri lagi kepada beliau
tatkala Perang Khandak, ketika umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan aku (
untuk mengikuti perang ).[6]
Mengkaji pandangan para fuqaha tentang
usia baligh sebuah pernikahan dapat disimpulkan bahwa dasar minimal pembatasan
adalah 15 tahun, meskipun Rasulullah menikahi Aisyah pada usia 9 tahun. Satatus usia 9 tahun ini pada masa itu terutama Madinah
tergolong dawasa. A. Rofiq menyatakan bahwa:
“batasan usia 15 tahun sebagai awal masa
kedewasaaan bagi anak laki-laki. Karena biasanya pada usia tersebut, anak
laki-laki telah mengeluarkan mani melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan, 9
tahun – untuk daerah seperti madinah- telah di anggap memiliki kedewasaan. Ini
didasarkan pada Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah SAW. atas dasar hadis
tersebut, dalam kitab kasyifah As-Saja dijelaskan, Tanda-tanda dewasanya (baligh)
seseorang itu ada tiga, yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi pria dan wanita,
bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan perempuan pada usia 9 tahun, dan haid
(mentruasi) bagi wanita 9 tahun. Ini dapat di kaitkan juga dengan perintah Rasulullah
SAW, kepada kaum muslimin agar mendidik anaknya menjalankan shalat pada saat
berusia tujuh tahun, dan memukulnya pada usia sepuluh tahun apabila si anak
enggan menjalankan shalat.”
Realisasi dari hadis tersebut adalah adanya kesepakatan
secara wajar bahwa bagi calon mempelai yang kurang dari 19 tahun, atau 16 tahun
bagi wanita, boleh melangsungkan pernikahannya karena mendapat izin dari
pejabat yang berwenang. Ini menunjukan bahwa konsep pembaharuan hukum islam itu
bersifat ijtihadi. Disamping itu pemahaman terhadap nash, terutama yang di
lakukan oleh Rasulullah pada saat
menikah dengan Aisyah, juga perlu dipahami seiring dengan tuntunan situasi dan
kondisi waktu itu. Ini penting karena tuntutan kemasalahatan yang ada waktu
itu disebanding dengan sekarang., jelas
berbeda.
Ulama mazhab figh sepakat bahwa haid dan
hamil merupakan bukti baligh seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya
pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan
mengeluarkan sperma bagi laki-laki..
Imammiyah, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali
mengatkan: Tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang.
Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan
bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi’I dan Hanbali menyatakan bahwa usia baligh untuk anak
laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tahun.
Sementara itu, Hanafi menetapkan usia balgh bagi anak laki-laki adalah 18
tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun. (Ibn Qudamah, Al-mughni, Jilid IV)[7]
Pandangan Hanafiyah dalam hal usia
baligh diatas adalah batas maksiamal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun
untuk anak laki-laki, dan 9 tahun untuk perempuan. Sebab, pada usia tersebut,
seoarang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili, atau
mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan dapat mimpi,
hamil, atau haid.
Apabila di analisis, pandapat Hnafiyah
tampaknya didasarkan pada logika semata bahwa secara tertulis hadis tersebut
menyatakan 15 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Adapun batas
minimalnya adalah 12 tahun bagi anak
laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Dengan demikian, usia maksimuim adalah 15
tahun bagi keduanya apabila ingin melangsungkan pernikahan.
Imamiyah, menetapkan usia baligh anak
laki-laki adalah 15 tahun, sedangkan anak perempuan 9 tahun, berdasarkan hadis
Ibnu Sina berikut:
”Apabila
anak perempuan telah mencapai 9 tahun, hartanya diserahkan kepadanya, urusannya
di pandang boleh, dan hukum pidana dilakukan atas haknya dan terhadap dirnya
secara penuh.”
Berdasarkan hadis diatas. Imamiyah menetapkan
standar usia baligh adalah 15 tahun bagi anak laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Tidak ada penafsiran usia
maksimum dan minimum baik bagi laki-laki maupun perempuan
Secara empiris dan sejalan dengan
perubahan hukum di masing-masing negara, terutama dalam wacana modern, batas
minimal menikah ini memiliki perbedaan di tiap-tiap Negara. Meskipun secara
garis besar, usia baligh untuk menikah berkisar anatar umur 15-21 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar