Kamis, 09 Januari 2014

KRITERIA BALIGH MENURUT FUQAHA DAN PENERAPAN DALAM PERUNDANG UNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN DALAM DUNIA ISLAM


A.      Problematika  Usia Dini dalam Pernikahan Islam
Isu pernikahan dini saat ini muncul di bicarakan kembali. Hal ini di picu oleh pernikahan Pujono Cahyo Widianto (Syeikh Puji), seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren, dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan pria berusia 43 tahun  dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan para pengamat berlomba memberikan opini yang berada menyudutkan Syekh Puji. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negativ. Di sisi lain, Syekh Puji, begitu ia akrab disapa, berdalih untuk mengader calon pengurus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena di anggap masih murni dan belum terkontaminasi arus mordenisasi. Lagi pula, dalam pandangan Syekh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama[1].
Kalau ditelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa nenek moyang kita dulu banyak yang menikahi di bawah umur. Bahkan-zaman dulu-pernikahan diusia “matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb (tua). Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah pada usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan, lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus aktivitasnya, serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Terlepas semua itu, maslah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara sarjana islam klasik dalam merespon kasus tersebut. Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis dan melanggengkan keturunan, dan kedua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kukungan teks dan memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan cultural yang ada. Oleh karena itu, dalam menyikapi pernikahan Nabi SAW. Dengan Aisyah (yang saat itu berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi SAW. Yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Q.S At-Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat  bahwa Aisyah dinikahi  Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula, pernikahan dini merupakan hal yang lumrah dikalangan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi consensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak di anggap. Selain itu,kontruksi hukum yang dibangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan muda terpatahkan.
Imam Jalaludin Sayuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah “ Ada tiga perka yang tidak boleh diakhirkan, yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah.” Hadis Nabi kedua adalah, “Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang memepunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, anak itu berdosa  dan dosa tersebut di bebankan atas orang tua nya.[2]
Pada hakikatnya, pernikahan dini juga mempunyai sisi positif karena saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampaui batas, dan akibat kebebasan itu kerap kita jumpai menyebabkan tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukan betapa moral bangsa ini suadah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Menurut penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisasikan tindakan-tindakan negative tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika suadah ada yang siap untuk bertanggung jawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak? Pernikahan dini sulusi alternativ yang pas.
Lalu, bagaimana sebenarnya batasan usia baligh sebuah perkawinan dalam Islam. Memang benar sebagian negara Islam masih memberlakukan usia dini sebagaimana yang diterapkan Rasulullah SAW., tetapi sebagian besar pula Negara Islam tidak menerapkan kreteria usia pernikahan tersebut. Paparan selanjutnya akan menguraikan secara teperinci batasan usia baligh pernikahan dalam islam sehingga tidak dikategorikan sebagai usia dini pernikahan secara keseluruhan.
B.   Kreteria Usia Baligh Menurut Fuqaha
Secara tersurat, dalam Al-Qur’an tidak akan di temukan ayat yang berkaitan dengan batasan usia perkawinan, tetapi jika diteliti lebih lanjut, ada dua ayat Al-Qur’an, yaitu surah An-Nur ayat 32 dan surat An-Nisa’ ayat 6 yang memiliki korelasi denagna usia baligh terutama pada kata-kata shalihin dan rusydan.
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur[24]:32).[3]
Dalam tafsir Al-Maraghi, kata wassalihin dimaknai sebagai laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikahi dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta, dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsirkan wassalihin, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk memebina rumah tangga, bukan dalam arti taat beragama, karna fungsi perkawinan memerlukan persiapan, tidak hanya materi, tetapi juga kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon suami maupun calon istri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indikator kesehatan mental seseorang itu sangat berkaitan dengan usia seseorang. Secara logika umum, orang yang sehat mental dan dewasa adalah orang yang usianya lebih dari anak-anak atau dapat dikatakan, matang secara kejiwaan dan pemikiran. Kata Shalihin, memberi petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki syarat meskipun bersifat umum. Kedewasaan dan kematangan identik dengan usia seseorang. Kata Shalihin sebagai cikal bakal dalam proses penetapan usia baligh sebuah pernikahan.
Kajian usia baligh dapat lacak kembali pada kata rusydan  dalam surat An-Nisa’ ayat 6 sebagai berikut.
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (Q.S. An-Nisa’ [4]:6)[4]
Begitu pula dalam tafsir Al-Misbah, maka kata dasar rushdan adalah ketetapan dan kelurusan jalan. Dari sini, lahir kata rushd yang bagi manusia adalah kemampuan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan dewasa  (rushdan), yaitu apabila sesorang memahami baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedangkan balighu al-nikah ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya Al-maraghi menginterpretasi bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh di bebani persoalan-persoalan tertentu. Menurut Rasyid Ridha, kalimat balighu al-nikah menunjukan bahwa usia seseorang untuk menikah, yakni sampai ia bermimpi. Pada umur ini, sesorang telah bisa melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Kepadanya juga dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu, rushdan adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasarruf serta mendatangkan kebaikan.
Tafsiran pada kata Shalihin dan rusydhan memberikan sinyal yang kuat bahwa kedewasaan atau baligh identik dengan usia seseorang secara umum. Dalam hal ini, Al-Qur’an hanya memberikan isyarat umum tentang cara menetapkan seseorang itu baligh atau tidak baligh. Penafsiran kedua ayat di atas menunjukan  bahwa kedewasaan dapat di tentukan dengan mimpi dan rushdhan, tetapi rusdhan dan umur kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi ada kalanya belum rushdan  dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-hari. Oleh karenaitu, kedewasaan pada dasarnya dapat di tentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda. Dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah disebutkan.[5]
Dari Aisyah r.a dari nabi SAW. bersabda, “terangkat qalam ( pertanggungjawaban ) dari tigal hal, orang yang tidur hingga ia terbangun, anak kecil hingga ia mimpi, dan orang gila hingga ia siuman (sembuh) dan sadar.” (H.R. Ahmad dan Empat Imam, kecuali Tirmidzi)
Makna esensial hadis diatas secara tersurat tidak mengisyaratkan batas usia baligh. Ia hanya menjelaskan tanda-tanda baligh (alamatuhu al-baligh), seperti mimpi bagi anak laki-laki dan haid bagi perempuan. Secara eksplisit, para fuqaha tidak sepakat terhadap  batas usia baligh bagi seseorang itu belum tentu menunjukan kedewasaannya, dengan alas an beberapa pendapat mazhab berikut.
Menurut sebagai fuqaha, ketentuan baligh maupun dewasa bukanlah persoalan yang di jadikan pertimbangan boleh tidaknya seseorang untuk melaksanakan perkawinan. Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa ayah boleh mengawinkan anak perempuan kecil yang masih perawan (belum baligh), demikian juga neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Adupu Ibn Hazm dan Shubromah berpendapat bahwa ayat tidak boleh mengawinkan anak perempuan yang masih kecil, kecuali ia sudah dewasa dan mendapat izin dari padanya.
Fakta sejarah memperlihatkan bahwa batsan usia perkawinan dicontohkan oleh perkawinan Nabi SAW. dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun sebagaimana hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abu Kuraib
Artinya: “Rasulullah SAW. menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia enam tahun, dan beliau menboyongnya ketika ia berusia Sembilan tahun dan beliau wafat pada waktu ia berusia 18 tahun.” ( H.R Muslim ).
Adapun batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar:
Artinya: “Aku telah mengajukan diri kepada Nabi SAW., untuk ikut Perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, dan beliau tidak mengizinkan aku. Aku mangajukan diri lagi kepada beliau tatkala Perang Khandak, ketika umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan aku ( untuk mengikuti perang ).[6]
Mengkaji pandangan para fuqaha tentang usia baligh sebuah pernikahan dapat disimpulkan bahwa dasar minimal pembatasan adalah 15 tahun, meskipun Rasulullah menikahi Aisyah pada usia 9 tahun. Satatus usia  9 tahun ini pada masa itu terutama Madinah tergolong dawasa. A. Rofiq menyatakan bahwa:
“batasan usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaaan bagi anak laki-laki. Karena biasanya pada usia tersebut, anak laki-laki telah mengeluarkan mani melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan, 9 tahun – untuk daerah seperti madinah- telah di anggap memiliki kedewasaan. Ini didasarkan pada Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah SAW. atas dasar hadis tersebut, dalam kitab kasyifah As-Saja dijelaskan, Tanda-tanda dewasanya (baligh) seseorang itu ada tiga, yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi pria dan wanita, bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan perempuan pada usia 9 tahun, dan haid (mentruasi) bagi wanita 9 tahun. Ini dapat di kaitkan juga dengan perintah Rasulullah SAW, kepada kaum muslimin agar mendidik anaknya menjalankan shalat pada saat berusia tujuh tahun, dan memukulnya pada usia sepuluh tahun apabila si anak enggan menjalankan shalat.”
Realisasi  dari hadis tersebut adalah adanya kesepakatan secara wajar bahwa bagi calon mempelai yang kurang dari 19 tahun, atau 16 tahun bagi wanita, boleh melangsungkan pernikahannya karena mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Ini menunjukan bahwa konsep pembaharuan hukum islam itu bersifat ijtihadi. Disamping itu pemahaman terhadap nash, terutama yang di lakukan oleh Rasulullah  pada saat menikah dengan Aisyah, juga perlu dipahami seiring dengan tuntunan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting karena tuntutan kemasalahatan yang ada waktu itu  disebanding dengan sekarang., jelas berbeda.
Ulama mazhab figh sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti baligh seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki..
Imammiyah, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali mengatkan: Tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi’I dan Hanbali  menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia balgh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun. (Ibn Qudamah, Al-mughni, Jilid IV)[7]
Pandangan Hanafiyah dalam hal usia baligh diatas adalah batas maksiamal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun untuk anak laki-laki, dan 9 tahun untuk perempuan. Sebab, pada usia tersebut, seoarang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili, atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan dapat mimpi, hamil, atau haid.
Apabila di analisis, pandapat Hnafiyah tampaknya didasarkan pada logika semata bahwa secara tertulis hadis tersebut menyatakan 15 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Adapun batas minimalnya  adalah 12 tahun bagi anak laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Dengan demikian, usia maksimuim adalah 15 tahun bagi keduanya apabila ingin melangsungkan pernikahan.
Imamiyah, menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah 15 tahun, sedangkan anak perempuan 9 tahun, berdasarkan hadis Ibnu Sina berikut:
”Apabila anak perempuan telah mencapai 9 tahun, hartanya diserahkan kepadanya, urusannya di pandang  boleh, dan hukum pidana  dilakukan atas haknya dan terhadap dirnya secara penuh.”
Berdasarkan hadis diatas. Imamiyah menetapkan standar usia baligh adalah 15 tahun bagi anak laki-laki dan 9 tahun  bagi perempuan. Tidak ada penafsiran usia maksimum dan minimum baik bagi laki-laki maupun perempuan
Secara empiris dan sejalan dengan perubahan hukum di masing-masing negara, terutama dalam wacana modern, batas minimal menikah ini memiliki perbedaan di tiap-tiap Negara. Meskipun secara garis besar, usia baligh untuk menikah berkisar anatar umur 15-21 tahun.


[1]Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I, hlm. 57
[2] Ibid, hlm 59
[3] Ibid, hlm 60
[4] Ibid, hlm 61
[5] Ibid, hlm 62
[6] Ibid, hlm 63
[7] Ibid, hlm 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar