A. BIOGRAFI IMAM SYAFIE
1. Riwayat hidup
Imam Syafie dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150
H.(767M).Menurut suatu riwayat pada tahun itu juga wafatnya Imam Abu Hanifah.
Nama lengkap adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafie bin
Saib bin Ubayd bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf bin Ibnu
Qushay Al-Quraisyi.
Abdul Manaf bin Qushay kakek kesembilan dari Imam Syafie adalah Abdu
Manaf bin Qushay kakek keempat dari Nabi Muhammad SAW .Jadi nasab Imam Syafie
bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf.
Adapun nasab Imam Syafie bin Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husen
bin Ali bin Abi Thalib menantu Nabi Muhammad SAW ,dan juga khalifah
keempat yang terkenal. Maka dalam sejarah ditemukan bahawa Saib bin Yazid kakek
Imam Syafie yang kelima adalah sahabat Nabi Muhammad SAW.[1]
Ketika ayah Imam Syafie meninggal ia masih kecil. Ketika Imam
Syafie baru berusia lima tahun dibawa oleh ibunya ke Mekah. Ia dibesarkan oleh
ibunya dalam keadaan fakir.
2. Pendidikan
Imam Syafie diasuh oleh ibunya dengan dibekali pendidikan sehingga pada
umur tujuh tahun Imam Syafie sudah dapat menghafal Al-Quran . Ia mempelajari
Al-Quran dari Ismail bin Qastantin, adalah qari kota Makkah ,dan menurut
setengah riwayat bahwa Imam Syafie pernah khatam Al-Quran dalam bulan
Ramadhan sebanyak 60 kali.
Imam Syafie telah pergi dari Makkah menuju dusun Bani Huzayl untuk
mempelajari bahasa Arab karena di sana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab
yang fasih dan asli ,dan Imam Syafie menetap di Bani Huzayl selama 10 tahun lebih kurang. Pada
Bani Huzayl ia mempelajari sastra Arab dan menghafal syiir-syiir dari Amru
Al-Qais ,Zuhaer dan Jarir. Dengan mempelajari sastera Arab dan mampu memahami
kandungan Al-Quran yang mempunyai bahasa Arab yang fasih dan murni . Imam
Syafie diberi kepercayaan oleh kaum Huzayl dalam soal syiir-syiir.
Imam Syafie mempelajari hadist dari Imam Malik di Madinah sehingga pada
usia 13 tahun ia telah dapat menghafal kitab Muwattha Imam Malik.
Sebelum itu, Imam Syafie pernah belajar hadist kepada Sufyan bin Uyainah salah
seorang ulama hadist di Makkah. Adapun belajar fiqih Imam Syafie menuntut dari
Muslim bin Khalid Al-Zanji seorang mufti Makkah.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani selain kepada Muslim bin Khalid
Al-Zanjiy, Malik dan Sufyan bin Uyainah ,Imam Syafie belajar kepada Ibrahim bin
Said bin Salim Alqadah, Al-Darawardiy , Abdul Wahab As-Saqafiy,Ibnu Ulaiyah
,Abu Damrah,Hatim bin Ismail, Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya ,Ismail bin
jafar, Muhammad bin Khalid Al-Jundiy, Umar bin Muhammad bin Ali bin Syafie ,
Athaf bin Khalid Al-Mahzumiy, Hisyam bin Yusuf Al-Sanaaniy dan sejumlah lagi
ulama yang lain. Imam Syafie belajar kepada Imam Malik di Madinah sampai
meninggal. Setelah berguru kepada Imam Malik, Imam Syafii lalu pindah ke Yaman.
Di Yaman, dia terkenal sebagai seorang yang berbudi luhur dan mengajak manusia
untuk mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Di perkenalkan dengan metode-metode
cemerlang yang baik sekali dan metode tersebut sudah terkenal di sana. Dari
Yaman lalu pindah ke Irak, Imam Syafii menyibukkan diri dengan ilmu agama.
Tahun 195H Al-Syafie pergi ke Baghdad dan menetap di sana selama 2
tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Makkah. Pada tahun 198H ia kembali ke
Baghdad dan menetap di sana beberapa bulan , kemudian tahun 198H pergi ke Mesir
dan menetap di Mesir sampai wafat pada tanggal 29 Rajab sesudah menunaikan
shalat isya. Imam Syafie dikuburkan di suatu tempat di Qal’ah yang disebut
Misru Al-Qadimah.[2]
3. Pendapat ulama tentang Imam Syafie
Abu Nuaim Al-Hafizh berkata bahwa terdapat di kalangan imam yang
sempurna, berilmu dan mengamalkannya, berakhlak mulia dan dermawan. Merupakan
cahaya di waktu gelap yang menjelaskan segala kesulitan ilmu menerangi belahan
bumi dari bagian timur sampai barat. Mazhabnya diikuti banyak orang
karena mazhabnya didasarkan pada sunnah, atsar dan sesuatu yang telah
disepakati para sahabat anshar dan muhajirin ,ulama itu adalah
Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafii.[3]
Dari Suwaid bin Said, dia berkata “ Pada waktu itu sedang bersama Sufyan
bin Uyainah, ketika Muhammad bin Idris As-Syafii datang dan lalu duduk , Ibnu
Uyainah membacakan satu hadist ringan. Ketika dikatakan kepada Ibnu Uyainah,”
Wahai Abu Muhammad, Muhammad bin Idris meninggal”, maka Ibnu Uyainah langsung
menjawab,” Jika Muhammad bin Idris meninggal maka hilanglah orang yang paling
mulia di masanya.”[4]
Bahr bin Nashr berkata,” Di masa Imam Syafii aku belum pernah melihat
dan mendengar ada orang yang lebih bertakwa dan warak melebihi Imam As-Syafii.
Begitu pulaaku juga belum pernah mendengar ada orang yang melantunkan Al-Quran
dengan suara yang lebih bagus darinya.”[5]
Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan bahwa Imam Syafii membagikan malam
menjadi tiga bagian yaitu sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk
shalat dan sepertiga akhir untuk tidur.[6]
Bahr bin Nashr berkata,”Ketika kami hendak menangis maka satu sama lain
di antara kami berkata,”Mari kita bersama-sama kepada pemuda al-Muthalibi (Imam
Syafie) untuk mendengar bacaan Al-Quran darinya. Ketika kami sampai dia
langsung membuka Al-Quran dan membacanya sampai banyak orang sulit untuk
membendung dari keluar air mata. Tatkala Imam Syafii melihat ramai terisak-isak
menangis maka dia pun terus menghentikan bacaannya.[7]
4. Pola pemikiran dan metode istidhlal Imam
Syafie
Pegangan Imam Syafie dalam menetapkan hukum adalah Al-Quran,
as-Sunnah, Ijmak, dan Qiyas sesuai dengan perkataannya
dalam kitab al-Umm yang berbunyi :
“Imam Syafie memandangkan al-Quran dan as-Sunnah
mempunyai kedudukan tertinggi. Maka ia menempatkan as-Sunnah sejajar dengan
al-Quran karena beliau berpendapat bahwa as-Sunnah menjelaskan al-Quran kecuali
hadist ahad tidak sama nilainya dengan al-Quran dan hadist mutawatir. Di
samping itu, karena al-Quran dan Sunnah keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan
as-Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Quran.”
Dalam pelaksanaannya, Imam Syafie menempuh cara
bahwa apabila di dalam Al-Quran sudah tidak ditemukan dalil yang dicari
maka digunakan hadist mutawatir dan jika tidak ditemukan dalam hadist
mutawatir maka digunakan khabar ahad. Jika tidak ditemukan juga dalil
semua itu maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir al-Quran
atau as-Sunnah secara berturut. Dengan teliti ia mencoba untuk menemukan mukhassis
dari Al-Quran dan as-Sunnah. Walaupun Imam Syafie berhujah dengan hadist
ahad namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Quran dan hadist
mutawatir karena al-Quran dan hadist mutawatir saja yang qatiey
ketetapannya, dan menjadi kafir serta disuruh bertobat orang yang
mengingkarinya.
Imam Syafie menetapkan beberapa syarat untuk
menerima hadist ahad antaranya harus perawinya thiqah yaitu orang
yang terpercaya dan menolak hadist yang datang dari perawi yang tidak thiqah
, harus bagi perawinya berakal memahami apa yang diriwayatkannya, harus bagi
perawi dhabit yaitu kuat ingatannya, harus bagi perawi benar-benar
mendengar sendiri hadist itu dari orang yang menyampaikan kepadanya dan harus
bagi perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist
itu.
Dalam Ijmak, Imam Syafie memandang bahwa ijmak
adalah hujah dan ia menempatkan ijmak sesudah al-Quran dan al-Sunnah sebelum Qiyas.
Imam Syafie menerima ijmak sebagai hujah dalam masalah yang tidak ada
keterangan di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Menurut Imam Syafie ijmak adalah
ijmak ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijmak sesuatu negeri
saja dan bukan pula ijmak kaum tertentu saja. Namun begitu, Imam Syafie
mengakui ijmak yang paling kuat adalah Ijmak Sahabat. Maka ijmak yang dipakai
oleh Imam Syafie sebagai dalil hukum adalah ijmak yang disandarkan kepada nash
atau ada landasan riwayat dari Rasulullah SAW. Secara tegas ia mengatakan bahwa
ijmak yang berstatusdalil hukum itu adalah ijmak sahabat.
Imam Syafie hanya memilih Ijmak Sharih saja
sebagai dalil hukum dan menolak Ijmak Sukuti sebagai dalil hukum. Alasan
beliau adalah karena kesepakatan ijmak sharih itu disandarkan kepada nash dan
berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak ada lagi
mengandungi keraguan. Sementara alasan menolak ijmak sukuti karena tidak menjadi
kesepakatan semua mujtahid menurutnya belum tentu dianggap setuju.
Adapun Qiyas menurut Imam Syafie juga adalah hujah
dan sebagai dalil keempat setelah al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak dalam
menetapkan hukum. Dan Imam Syafie juga adalah orang pertama yang membicarakan
qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid
sebelumnya sekalipun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya
bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang
jelas sehingga sulit untuk mengetahui mana hasil ijtihad yang benar dan
mana yang keliru. Maka dari sinilah Imam Syafie tampil ke depan memilih metode
qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya
dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Kegunaan qiyas
sebagai hujah setelah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijmak seperti mana Imam Syafie
berpendapat penggunaan qiyas dibolehkan berdasarkan kepada ayat Al-Quran dari
surah al-Nisa:59
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَئٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ
Artinya: Maka apabila kamu berlainan pendapat dalam sesuatu perkara kembalikan
kepada Allah dan Rasul.
Imam Syafie menjelaskan bahwa kembalikan kepada
Allah dan Rasul adalah menqiyaskan kepada salah satu dari keduanya yaitu
al-Quran atau as-Sunnah.
5. Karya-karya Imam Syafie, Murid-muridnya dan
Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya.
Imam Abu Hasan bin Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafie
menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain-lain. Kitab-kitab
karya Imam Syafie dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian antaranya Imam
Syafie sendiri seperti al-Umm dan al-Risalah . Kitab al-Umm berisi
masalah-masalah fiqh yang dibahaskan berdasarkan pokok-pokok pikiran
Imam Syafie dalam al-Risalah.
Selanjutnya, Kitab al-Risalah adalah yang pertama dikarang Imam Syafie
pada usia yang muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abdul Rahman bin
Mahdi di Makkah, karena Abdul Rahman meminta kepada beliau agar menulis suatu
kitab yang mencakupi ilmu tentang arti al-Quran, hal ihwal yang bersangkutan
dengan al-Quran, nasikh dan mansukh serta hadist Nabi SAW. Kitab ini dinamai
ar-Risalah artinya kiriman karena ia disalin oleh murid-murid Imam Syafie
kemudian dikirim ke Makkah. Kitab ar-Risalah adalah kitab yang terkenal dan
masyhur karena isinya menghuraikan tentang ilmu usul fiqh serta yang
mula-mula member asas ilmu fiqh dan mengadakan aturan tertentu bagi ilmu
fiqh .
Kitab yang ditulis oleh murid-murid Imam Syafie seperti Mukhtasar
karangan al-Muzany dan al-Mukhtasar oleh al-Buwaiti yang mana keduanya
merupakan Ikhtisar dari kitab Imam Syafie Al-Imla’wal-Amaly. Kitab-kitab Imam
Syafie dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Irak,
di Mesir dan lain-lain.
Imam Syafie ketika datang ke Mesir pada umumnya pada ketika itu
masyarakat Mesir mengikut mazhab Hanafi dan Maliki. Setelah Imam Syafie
membukukan kitabnya yang berisi qaul jaded lalu ia mengajarkannya di Mesjid Amr
ibn Ash, maka mulai berkembanglah pemikiran mazhabnya di Mesir. Banyak dari
kalangan ulama menuntut ilmu dari Imam Syafie seperti Muhammad Abdullah bin
Abdul Hakam, Ismail bin Yahya, al-Buwaithi, al-Rabi’, al-Jizy, Asyhab ibn
al-Qasim dan ibn Mawaz. Mereka semua adalah ulama yang mempunyai pengaruh yang
luas di Mesir ,inilah antara sebab mudah tersebarnya mazhab Syafie sehingga ke
seluruh pelosok dunia.[8]
6. Wafatnya
Imam Syafie wafat
pada malam jumat setelah maghrib, jasadnya dimakamkan pada hari
jumat setelah asar hari terakhir pada bulan Rajab pada tahun 204 Hijriyah
bersamaan 819 Masehi.[9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar