A. PENGERTIAN KHIYAR
Menurut bahasa
khiyar berasal dari kata ikhtiyar yang bermakna memilih. Menurut istilah khiyar
adalah hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad[1].
Pengertian
Khiyar menurut ulama fiqih adalah:[2]
أن يكون للمتعا قد احق
فى امضاء العقد او فسخه ان كان اخيار خيار شرط اورؤسة او عيب او ان يختار احد
البيعين ان كان اخيار خيار تعيين
“suatu
keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni
menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib
atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin.”
Jumlah khiyar sangat banyak dan di antara para
ulama telah terjadi perdebatan pendapat.
Menurut
ulama Hanafiyah jumlahnya ada 17. Menurut ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu Khiyar al-taamul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak
dan khiyar
naqis (kurang),
yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang di jual (khiyar al-hukmy). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis
batal.
Menurut
ulama Syafi’iyah berpendpat bahwa khiyar terbagi dua, Khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama
transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun
syarat. Kedua Khiyar naqishah yang disebabkan
adanya perbedaan lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau pergantian.
Adapun khiyar yang di dasarkan pada syara’ menurut ulama Syafi’iyah ada 16
belas, dan murut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 macam[3].
2.
JENIS KHIYAR
1.
Khiyar
Majlis.
Khiyar majlis menurut ulama fiqih adalah
ان يكون لكل من العا قد ين حق فسخ العقد مادام فى مجلس العقد لم يتفر
قابابدانها يخير احد هما الاخر فيختارلزوم العقد.
“Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad
selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya
saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”
Khiyar majlis di kenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
Dengan demikian, akad akan menjadi lazim, jika kedua pihak telah
berpisah atau memilih. Hanya saja, khiyar majlis tidak dapat berada pada akad.
Khiyar majlis hanya ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seperti jual-beli,
upah-mengupah, dan lain-lain[4].
Yang dimaksud
dengan khiyar majlis adalah hak pilih dari pihak yang melangsungkan akad untuk
membatalkan (mem-fasakh) kontrak selama mereka masih berada di tempat
diadakannya kontrak (majlis akad) dan belum berpisah secara fisik. Khiyar ini
terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak seperti akad
muawazhot dan ijaroh. Madzhab yang sangat vokal membela kedudukan khiyar
majlis adalah mazhab Syafi, sedangkan mazhab Maliki dan Hanafi menentang
keberadaan khiyar majlis dalam akad[5].
a.
Majelis
berarti: tempat transaksi, dengan demikian khiyar majelis berarti hak pelaku
transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad selagi mereka berada dalam
tempat transaksi dan belum berpisah.
b.
Dalil
عن
حكيم بن حزام رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ( البيعان بالخيار ما
لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كزبا وكتما محقت بركة بيعهما )
Diriwayatkan
dari Hakim Bin Hizam bahwa Nabi bersabda: "Penjual
dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya
jujur dan saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi dan jika keduanya
berdusta dan saling menutupi dicabut keberkahan dari akad yang mereka
lakukan". (HR. Bukhari Muslim).
c.
Waktu
Khiyar Majelis
Khiyar majelis merupakan hak kedua
pihak, waktunya dimulai dari awal akad dan berakhir saat jasad kedua belah
pihak berpisah dari tempat akad berlangsung sekalipun akad tersebut berlangsung
lama.
Bilamana akad berlangsung via
telepon waktu khiyar berakhir dengan ditutupnya gagang telepon. Dan bilamana
berlangsung via internet menggunakan program messenger maka waktu khiyar berakhir
dengan ditutupnya program tersebut. Dan bila berlangsung dengan cara mengisi
daftar belanja maka ijabnya dengan mengisi daftar yang kemudian dikirim ke
pihak penjual, sedangkan pengiriman daftar dari pihak penjual dianggap sebagai qabul.
Dan khiyar berakhir dengan terkirimnya daftar belanja yang telah diisi
sebelumnya.
d.
Menafikan/menggugurkan
khiyar:
Dibolehkan menafikan dan
menggugurkan khiyar majelis. Menafikan khiyar, yaitu: kedua belah pihak sepakat
sebelum melakukan akad untuk tidak ada hak khiyar bagi keduanya dan akad
menjadi tetap dengan ijab dan qabul. Menggugurkan khiyar, yaitu: kedua pihak
melakukan transaksi, setelah transaksi dan sebelum berpisah mereka sepakat menggugurkan
khiyar, ini biasanya terjadi manakala mejelis akad terlalu lama.
e.
Upaya
tipuan untuk menggugurkan khiyar:
Tidak dibenarkan kedua-belah pihak
melakukan tipuan untuk menggugurkan khiyar, seumpama: bersegera meninggalkan
majelis akad dengan maksud hak khiyar gugur dari pihak lain. Berdasarkan hadist
nabi :
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah,
kecuali akad khiar syarat dan tidak dibolehkan seseorang sengaja meninggalkan
majelis akad karena khawatir pihak lain membatalkan akadnya.” (HR. Ahmad)[6].
2.
Khiyar
Syarat
a.
Arti
Khiyar syarat
أن يكون لأحدالعاقد ين او لكيلهما او لغير هما احق فى فسخ العقد او
امضا ئه خلال مدة معلومة.
”suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau
masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas
pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang di tentukan.”
Misalnya, seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang ini,
dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga
hari[7].
Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian
atau penipuan bagi pihak yang akad.
b.
Khiyar
Masyru’ (disyariatkan )dan khiyar rusak
1)
Khiyar
masyru’
Khiyar
yang disyariatkan adalah khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu
didasarkan pada hadis Rasulullah SAW. Tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang
menipu dalam jual-beli, kemudian perbuatannya itu dilaporkan kepada Rasulullah
SAW., lalu beliau bersabda.
ازابا يعت فقل: لاخلابة ولى اخيار ثلاثة ايام. (رواه مسلم)
“Jika
kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar
selama tiga hari.” (HR. Muslim)
2)
Khiyar
rusak
Menurut pendapat paling masyhur di kalangan ulama Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah, khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak
sah, seperti pernyataan, “ saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar
selamanya.” Perbuatan ini mengandung unsur jahalah (ketidak jelasan).
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli sperti itu batal.
Khiyar sangat menentukan akad, sedangkan batasannya tidak diketahui, sehingga
akan menghalangi aqid (orang yang melakukan akad) untuk menggunakan
(tasharruf) barang tersebut[8].
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jual-beli tersebut fasid, tetapi
tidak batal. Jika syarat tersebut belum samapai tiga hari atau tidak bertambah
dari tiga hari, atau memberikan penjelasan tentang masa khiyar, akad menjadi
sah sebab telah hilang penyebab yang merusaknya. Salain itu, syarat khiyar
berubah sesuai dengan landasan asal tersebut.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penguasa diharuskan membatasi
khiyar secara adat sebab khiyar bergantung pada barang yang di jadikan akad. Namun,
tidak boleh telalu lama melewati batasan khiyar yang telah ditetapkan atau
membatasi khiyar dengan seuatu yang tidak jelas, seperti mensyaratkan khiyar
turunya hujan atau sampai datang seseorang.
c.
Batasan
Khiyar Masyru’
Ulama Hanafiyah, Jafar, dan Syafi’i
berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak
lebih dari tiga hari. Golongan ini, selain beralasan dengan hadis dari Munqib
di atas, juga berdasarkan pada hadis dari Ibn Umar tentang pernyataan Anas:
ان رجلا اشترى من رجل بعيرا واشترط عليه اخيار اربعة ايام. فابطل رسول
الله ص.م. البيع وقال: اخيار ثلاثة ايام.
(رواه عبد الرزاق)
Artinya:“Seseorang
laki-laki memberi seekor unta dari laki-laki lainya, dan ia mensyaratkan khiyar
selama empat hari, Rasulullah SAW membatalkan jual-beli tersebut dan bersabda.
“Khiyar adalah tiga hari.” (HR. Abdurrazaq)
Ulama Hanafiyah dan Ja’far
berpendapat bahwa waktu tiga hari adalah waktu cukup dan memenuhi kebutuhan
seseorang. Dengan demikian, jika melewati tiga hari, jual-beli tersebut batal.
Akan tetapi, akad tersebut dapat menjadi sahih, jika diulangi dan tidak
melewati tiga hari. Adapun menurut ja’far, jika diulangi dan tidak melewati
tiga hari, tidak dapat menajdi akad yang sahih.
Imam Syafi’i pun berpendapat bahwa
khiyar yang melebihi tiga hari membatalkan jual-beli, sedangkan bila berkurang dari tiga hari, hal itu adalah
rukhshah (keringanan)[9].
Menurut ulama Hanabilah, Khiyar
diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang akad, baik sebentar maupun lama.
Hal itu didasarkan antara lain pada pernyataan Ibn Umar yang membolehkan khiyar
lebih dari sebulan. Selain itu Khiyar Syarat sangat berkaitan dengan orang yang memberikan
syarat. Oleh karena itu, disertahkan kepada orang yang melakukan akad[10].
Menurut malikiyah berpendapat
bahwa Khiyar Syarat dibolehkan
sesuai dengan kebutuhan. Buah-buahan yang akan rusak sebelum tiga hari,
dibolehkan khiyar kurang dari tiga hari. Golongan ini beralasan bahwa hakikatnya khiyar ditujukan untuk menguji
barang yang di jual sehingga berbeda-beda bagi tiap-tiap barang.
3.
Khiyar
‘Aib (cacat)
a.
Arti
dan landasan Khiyar ‘Aib
Khiyar
‘Aib (cacat) menurut ulama Fiqih
ان يكون لأحد العاقد ين اخق فى فسخ العقد او امضاءه ازاوجد عيب فى احد
البد لين ولم يكن صا حبه عالما به وقت العقد.
Artinya:
”keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk
membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah
yang dijadikan alat tukr-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.
Dengan demikian, penyebab, khiyar
aib adalah adanya cacat dan barang yang dijualbelikan (ma’qud alaih) atau harga
(tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang
dan yang akad[11].
Ketetapan adanya khiyar mensyaratkan
adanya barang pengganti, baik di ucapkan secara jelas ataupun tidak, kecuali
jika ada keridhoan dari yang akad. Sebaliknya, jika kita tampak adanya
kecacatan, barang pengganti tidak di perlukan lagi.
Khiyar ‘Aib di syariatkan dalam Islam, yang didasarkan pada
hadis-hadis yang cukup banyak, di antaranya:
المسلم اخوالمسلم لا يحل لمسلم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الا بينه
له. ( رواه ابن ماجه عن عقبة بن عامر)
Artinya: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.
Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudara nya yang
mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu.” (HR. Ibn Majah dari Uqbah Ibn Amir).
مر النبي ص.م. برجل يبيع طعا ما فاد خل يده فيه فازا هو مبلول فقل: من
غشنا فليس منا
Artinya: “Suatu hari Rasulullah SAW, melawati seorang pedagang
makannan, kemudianbeliau mencelupkan makanannya keatas makanan tersebut, dan
mengetahui makanan itu basah (basi). Bersabda, “ Barang siapa yang menipu kita,
dia bukan dari golongan kita.”[12]
b.
‘Aib
Mengharuskan Khiyar
Ulama Hanafiyah
dan Hanabilah berpendapat bahawa ‘aib pada
khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukan adanya kekurangan dari aslinya,
misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik yang sedikit atau yang banyak[13].
Menurut
ualama Syafiiyah adalah segala sesuatu yang dapat di pandang berkurang nilainya
dari barang yang di maksud atau tidak adanya barang yang di maksud, seperti
sempitnya sepatu, potongannya tanduk binatang yang akan dijadikan korban.
c.
Syarat
Tetapnya khiyar
Disyariatkan untuk tetapkannya
khiyar ‘Aib setelah diadakan penelitian yang menunjukan.
1.
Adanya
‘aib setelah akad atau sebelum di serahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada.
Jika adanya setealah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, aib
tersebut tidak tetap.
2.
Pembeli
tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang.
Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima barang,
tida ada khiyar sebab ia di anggap telah ridha.
3.
Pemilik
barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan
demikian, jika penjual mensyaratkannya, tidak ada khiyar. Jika pembeli
membebaskannya, gugurlah hak dirinya. Hal itu sesuai dengan pendapat Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan menurut satu riwayat dari
Hanabilah, berpendapat bahwa seseorang penjual tidak sah meminta sebut sudah diketahui oleh keduanya,
kecuali jika ‘aib tidak di ketahui pembeli.
d.
Waktu
Khiyar ‘Aib
Khiyar ‘aib tetap
ada sejak munculnya cacat walaupunakad telah berlangsung cukup lama. Mengenai
membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau
ditangguhkan, terdapat dua pendapat[14].
Ulama Hanafiyah dan hanabilah
berpendapat bahwa membatalkan akad setelah di ketahui adanya cacat adalah
ditangguhkan, yakni disyariatkan secara langsung. Dengan demikian, ketika diketahui
adanya cacat, tetapi pengembalian diakhirkan, hal itu tidak di membatalkan
Khiyar sehingga ada tanda-tanda yang menunjukan keridhaan. Hal ini karena
disyariatkannya khiyar, antara lain untuk mencegah kemudaratan. Oleh karena
itu, tidak batal dengan mengakhirkannya. Selain itu, suatu khiyar akan tetap
ada dan tidak gugur, kecuali bila digugurkan atau habisnya waktu, pedahal
khiyar ini tidak dibatasi oleh waktu.
Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah
berpendpat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat,
yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh di tangguhkan. Namun demikian,
tidak di anggap menanguhkan jika diselingi shalat, makan, minum. Di antara
sebabnya, supaya orang yang akad tidak mudarat karena mengakhirkan, yakni
hilang nya hak khiyar karena mengakhirkan sehingga menjadi lazim.
C.
MASA KHIYAR MENURUT ULAMA
Adapun
masa khiyar menurut ulama yang membolehkannya:
1. Malik
berpendapat tidak memiliki batasan tertentu
dalam khiyar tersebut, dan hal tersebut sesuai dengan kebutuhan kepada
berbagai macam barang yang di jual. Hal tersebut berbeda-beda berdasarkan
perbedaan barang yang di jual. Ia berkata, “Seperti satu atau dua hari dalam
meneliti pakaian, satu pekan lima hari dalam meneliti sahaya wanita, satu bulan
atau yang semisalnya meneliti rumah”
Kesimpulannya adalah menurut dia
tidak boleh ada waktu panjang yang melebihi kebutuhan meneliti barang dagang[15].
2. Syafi’i
serta Abu Hanifah berkata, “Batasan khiyar adalah tiga hari, tidak boleh lebih
dari itu.
3. Ahmad,
Abu Yusuf, serta Muhammad bin Al-Hasan berkata, “Boleh melakukan khiyar untuk
masa yang telah ia syaratkan.” Dan itulah yang menjadi pendapat Daud.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai khiyar secara mutlak yang tidak terikat waktu
tertentu.
1. Ats-Tsauri,
Al Hasan bin Jinni serta kelompok para ulama berpendapat dibolehkannya
mensyaratkan secara mutlak dan ia memiliki khiyar selama nya.
2. Malik
berpendapat di bolehkannya khiyar mutlak akan tetapi penguasa memberikan
batasan waktu padanya dengan waktu yang semisalnya.
3. Abu
Hanifah dan Syafi’i berpendapat bagaimanapun juga tidak boleh melakukan khiyar
mutlak dan jual beli tersebut rusak.
Abu
Hanifah serta Syafi’i syafi’i berbeda pendapat apabila khiyar tersebut terjadi
dalam tiga hari pada masa khiyar mutlak.
1. Abu
Hanifah berkata,” Apabila telah terjadi dalam tiga hari maka boleh dan apabila
melewati tiga hari maka jual beli rusak.”
2. Syafi’i
berkata, “Jual beli tersebut bagaimanapun keadaannya adalah rusak”..
Penjual dan pembeli berhak memelih (khiyar) sebelum
keduanya berpisah. Keduanya boleh mensyaratkan khiyar selama tiga hari. Jika
barang yang dibeli tersebut mengandung cacat, maka pembeli boleh
mengembalikannya[16].
Tidak boleh menjual buah-buahan secara mutlak kecuali
setelah tampak kematangannya. Tidak boleh malakukan jual beli sesuatu yang
mengandung riba dengan sejenisnya dalam keadaan basah, kecuali menjual susu.
D. GARANSI
1.
Pengertian Garansi Jual Beli.
Kata garansi berasal dari bahasa
inggris Guarantee yang berarti jaminan atau tanggungan. Dalam kamus
besar bahasa indonesia, garansi mempunyai arti tanggungan, sedang dalam
ensiklopedia indonesia, garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual
beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual
untuk jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang tersebut mengalami kerusakan
atau cacat, maka segala biaya perbaikannya di tanggung oleh penjual, sedang
peraturan-peraturan garansi biasanya tertulis pada suatu surat garansi[17].
Dengan demikian, garansi merupakan
salah satu bentuk layanan yang diberikan penjual kepada pembeli sebagai
pemenuhan terhadap hak-hak pembeli. Terutama hak untuk memperoleh barang yang
sesuai dengan nilai tukar yang dikeluarkan. Pada tahap ini kepuasan konsumen
atau kekecewaannya berkenaan dengan transaksi yang diselenggarakan akan segera
menjadi kenyataan, apakah barang yang telah dibeli oleh konsumen tersebut
berkualitas baik atau tidak. Untuk mengetahui hal ini, maka garansi memiliki
peranan yang sangat penting bagi konsumen.
Jadi
pelayanan garansi merupakan bentuk penanggungan yang menjadi kewajiban penjual
kepada pembeli terhadap cacat-cacat barang yang tersembunyi. Selain itu garansi
juga sebagai salah satu upaya untuk melindungi kepuasan konsumen.
2. Tujuan dan Fungsi Garansi Jual
Beli.
Dalam
perkembanagn dunia perdagangan dewasa ini, garansi merupakan kepentingan
konsumen yang sangat vital, sehingga garansi dalam jual beli memiliki fungsi
sebagai penjaminan apabila dalam masa-masa garansi ditemukan cacat-cacat
tersembunyi oleh pembeli dan pengikat terhadap pihak penjual untuk memenuhi
prestasi (kewajiban) yang telah disepakati bersama dengan pembeli.
Mengenai
ketentuan-ketentuan yang merupakan kesepakatan antara kedua pihak dalam
perjanjian garansi jual beli biasanya tercantum dalam surat garansi yang
diberikan kepada pembeli, antara lain berupa jenis cacat yang termasuk dalam
penjaminan masa garansi dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut biasanya
dibuat oleh pihak penjual sebelum transaksi sehingga pembeli tidak ikut andil
dalam memutuskan ketentuan-ketentuan itu. Pembeli tidak berhak untuk menawar
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penjual. Dalam perjanjian ini, pembeli
hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu:
- Jika pembeli ingin melakukan transaksi, maka harus sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
- Jika pembeli tidak sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut, maka transaksi tidak akan terjadi[18].
3.
Bentuk Cacat Dalam Perjanjian Jual Beli
Dalam
perjanjian garansi jual beli, prestasi (kewajiban) yang harus dilakukan oleh
penjual adalah berupa menanggung segala cacat yang tersembunyi pada barang yang
diperdagangkan. Jadi dalam hal ini, cacat tersembunyi merupakan hal yang sangat
penting. Yang dimaksud cacat tersembunyi adalah cacat yang tidak mudah dilihat
oleh pembeli. Menurut pasal 1504 KUHPdt, yang dimaksud cacat tersembunyi adalah
cacat yang membuat barang itu tidak sanggup untuk dipakai semestinya, sehigga
seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli
barang itu atau membelinya dengan harga yang murah[19].
Apabila
cacat tersebut telah diketahui sebelumnya oleh pembeli, maka penjual tidak
bertanggung jawab terhadap cacat yang kelihatan tersebut, karena dapat dianggap
bahwa pembeli menerima adanya cacat dengan harga yang disesuaikan dengan adanya
cacat. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam KUHPdt pasal 1505, bahwa
penjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan yang telah
diketahui oleh pembeli. Dengan demikian, dalam perjanjian garansi jual beli,
penjual memiliki kewajiban untuk menanggung cacat-cacat barang yang tersembunyi
dan tidak diketahui sebelum adanya transaksi.
Adapun
hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli dalam perjanjian garansi jual beli
dapat dijumpai dalam undang-undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Diantara hak dan kewajiban tersebut adalah:
- Pembeli berhak untuk memilih barang, serta mendapatkan barang tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
- Pembeli berhak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang.
- Pembeli berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- penjual wajib memberikan informasi yang benar, mengenai kondisi dan jaminan barang serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
- Penjual wajib menjamin mutu barang yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang berlaku.
- Penjual berkewajiban untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang tertentu serta memberi jaminan garansi atas barang yang diperdagangkan.
- Penjual wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian[20].
4.
Ketentuan Operasi Garansi Jual Beli.
Garansi
jual beli merupakan jenis fasilitas dari penjual yang sangat bermanfaat bagi
semua pihak, baik bagi pemberi garansi (penjual) sendiri maupun bagi penerimanya
(pembeli) serta bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, tidak menimbulkan bagi
orang lain, melainkan merupakan tindakan saling tolong menolong dalam kewajiban
yang sangat dianjurkan oleh agama.
Garansi
jual beli sebagaimana yang berjalan sekarang ini memang tidak dikenal pada masa
Rasulullah SAW, namun bukan berarti terlarang, karena pada dasarnya semua
bentuk muamalat adalah boleh, sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:
Dalam
Islam, manusia juga diberi kebebasan untuk mengatur kehidupannya sendiri yang
dinamis dan lebih bermanfaat, sepanjang aturan yang dibuatnya tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan syari’at islam termasuk melakukan berbagai macam
bentuk muamalat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila ada suatu kelaziman
yang diterima ditengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan
syari’at, maka kelaziman tersebut bisa dijadikan hukum. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqih yang berbunyi “Adat kebiasaan yang diakui dapat dijadikan sebagai
landasan hukum”. Dengan kata lain, bahwa pelayanan garansi jual beli sudah
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum muamalat sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ahmad Azhar Basyir yaitu:
- Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan hadits.
- Muamalat dilaksanakan atas dasar suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan.
- Muamalat dilakukan atas dasar pertimbagan mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudaratan.
- Muamalat dilakukan dengan memelihara nilai keadilan[21].
Karena
garansi merupakan perjanjian yang berupa penjaminan terhadap cacat yang
tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam jangka waktu tertentu, maka dalam
hukum Islam pembeli berhak menggunakan hak khiyarnya apabila terdapat cacat
yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh penjual dan pembeli. Hak khiyar
yang dimaksud dalam hal ini adalah khiyar aib (cacat). Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, khiyar aib adalah hak untuk memilih antara meneruskan
atau membatalkan akad apabila ditemui cacat pada barang yang dipejual belikan.
Tetapi hak khiyar tidak berlaku pada cacat yang telah diketahui sebelum yerjadi
jual beli. Namun demikian Islam melarang jual beli yang mengandung cacat,
tetapi berusaha disembunyikan untuk mendapatkan harga dan keuntungan yang
tinggi.
5. Cacat
Dalam Perjanjian
Pelaksanaan
terhadap perjanjian usaha terkadang menemui berbagai cacat yang bisa
menghilangkan keridhaan satu pihak, atau membuat cacat objek perjanjian,
sehingga pihak yang merasa dirugikan bisa membatalkan perjanjian tersebut[22]. Di
antara cacat-cacat itu adalah:
a.
Intimidasi.
Yakni
memaksa pihak lain terhadap ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya,
melalui gertakan dan ancaman. Intimidasi ini ada dua macam: Intimidasi
fungsional, yakni yang dapat merusak keridhaan dan hak pilih. Biasanya
dilakukan dengan ancaman bunuh, membikin cacat anggota tubuh atau merampas
seluruh harta pihak yang diintimidasi. Intimidasi non fungsional. Yakni
intimidasi yang tidak menghilangkan keridhaan, dan tidak merusak hak pilih,
biasanya dilakukan dengan ancaman pukul atau merampas sebagian harta pihak yang
diintimidasi. Para ulama telah bersepakat bahwa segala bentuk aktivitas
finansial tidak bisa berlaku di bawah intimidasi. Namun mereka berbeda pendapat
bila ternyata pihak yang diintimidasi merasa rela, setelah tidak diintimidasi
lagi.
b.
Kekeliruan.
Yakni
kekeliruan yang berkaitan dengan objek perjanjian. Seperti orang yang membeli
perhiasan berlian, ternyata yang didapatinya perhiasan terbuat dari kaca.
Kekeliruan itu sendiri terbagi menjadi dua:
- Kekeliruan yang membatalkan perjanjian, yakni bila terjadi perbedaan jenis atau fasilitas objek perjanjian secara signifikan. Seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara bang-kai dengan hewan sembelihan yang sudah berupa daging.
- Kekeliruan yang tidak sampai membatalkan perjanjian, akan tetapi pihak yang dirugikan tetap diberi hak untuk mem-batalkan perjanjian itu. Yakni ketika terjadi perbedaan yang bukan pada jenis atau fasilitas objek secara signifikan. Seperti orang yang membeli hewan dengan dugaan jantan, ternyata betina[23].
c.
Penyamaran Harga.
Yakni
terjadinya kekurangan pada salah satu barang barter atau kompensasi, atau
terjadinya tukar menukar yang tidak adil (dan diketahui salah satu pihak).
Penyamaran harga itu sendiri ada dua macam:
Penyamaran
ringan. Yakni yang tidak menyebabkan objek perjanjian keluar dari harga pasaran
dengan perkiraan harga para pakar perniagaan. Penyamaran ringan semacam ini
dapat dimaklumi, bahkan hampir tidak ada jual beli yang selamat dari penyamaran
semacam ini, sehingga tidak berpengaruh sama sekali. Yang kedua adalah
penyamaran berat yang sampai mengeluarkan barang perjanjian dari harga pasaran.
Mengenai pengaruhnya terhadap perjanjian usaha, ada tiga pendapat di kalangan
para ulama:
- Tidak perlu dipedulikan sama sekali, demi menjaga kemaslahatan berlangsungnya perjanjian usaha.
- Atau menganggapnya dapat membatalkan perjanjian secara mutlak, demi menjaga pihak yang dirugikan agar tidak mendapatkan perlakuan semena-mena.
- Atau dilihat dahulu, kalau dengan tujuan menipu (yakni disengaja), dapat membatalkan perjanjian. Namun bila tidak bertujuan demikian, maka tidak berpengaruh apa-apa. Kemungkinan pendapat terakhir ini adalah yang paling tepat.
6.
Bentuk Penjaminan Dalam Transaksi Jual Beli
Adapun
bentuk penjaminan terhadap cacat tersembunyi dalam perjanjian garansi jual
beli berupa perjanjian servis gratis, mengganti barang dengan yang baru,
tidak lepas dari unsur keadilan, sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang
merasa dirugikan dan benar-benar berdasarkan pada kerelaan hati pihak-pihak
yang bersangkutan yang merupakan syarat utama dalam muamalat, seperti juga
ditetapkannya hak khiyar aib yaitu hak untuk memilih melanjutkanatau
membatalkan karena adanya cacat dengan tujuan untuk menjamin agar akad yang
diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak yang bersangkutan
yang merupakan asas bagi sahnya suatu akad.
Dalam
perjanjian garansi jual beli diatur bahwa penjual berkewajiaban untuk memenuhi
pelayanan garansi yang sudah ditentukan, sebagaimana yang termaktub dalam pasal
25 (1) undang-undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dalam
pasal 1338 KUHPdt yang berbunyi:
“Semua
perjanjian yang telah dibuat, secara sah adalah mengikat para pihak yang
membuatnya sebagai undang-undang diantara mereka”[24]
Hal
ini senada dengan hukum Islam yang menyatakan bahwa seorang muslim berkewajiban
untuk memenuhi janji yang telah mereka sepakati, karena janji tersebut akan
dimintai pertanggung jawabannya. Dengan demikian sebagai bentuk perjanjian
penanggungan sebuah kewajiban, garansi jual beli membawa konsekuensi logis pada
adanya tuntutan pembayaran atau pemenuhan terhadap kewajiban tersebut oleh
pembeli apabila penjual ternyata tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan
kesepakatan yang telah dibuat dalam perjanjian, serta tuntutan ganti rugi atas
kerugian yang diderita oleh pembeli.
Apabila terjadi perubahan kondisi mendatang pada masa terjadinya
perjanjian secara drastis, seperti kenaikan nilai mata uang, kenaikan
bahan-bahan pokok, sehingga pelaksanaan perjanjian usaha tersebut sesuai
perjanjian dapat menimbulkan kerugian besar bagi pihak yang menjaga komitmen
yang harus ia tanggung, maka pihak hakim boleh merubah hak-hak dan komitmen
bila terjadi konflik, sehingga kerugian ditanggung secara bersama oleh kedua
belah pihak. Pihak pelaksana perjanjian juga berhak membatalkan perjanjian yang
masih berlangsung kalau ia melihat lebih baik untuk dibatalkan saja, tentunya
dengan memberikan kompensasi seimbang kepada pihak yang memiliki hasil
perjanjian. Pihak hakim juga boleh membiarkan pelaksana untuk meneruskan
pelaksanaannya kalau ia melihat itu lebih baik demi kemaslahatan pihak-pihak
yang terikat dalam perjanjian tersebut.[25]
KESIMPULAN
1.
Khiyar aib adalah hak untuk membatalkan atau
meneruskan akad bila mana ditemukan aib (cacat), sedang pembeli tidak tahu
tentang hal itu pada saat akad berlangsung. Persoalan ini muncul saat barang
yang ditransaksikan itu cacat atau alat penukarnya berkurang nilainya dan
itu tidak diketahui oleh pembeli. Dalam setiap transaksi, pihak yang terlibat
secara implisit menghendaki agar barang dan penukarnya bebas dari cacat.
Hal ini masuk akal karena pertukaran itu harus dilangsungkan secara suka sama
suka dan ini hanya mungkin jika barang dan penukarnya tidak mengandung cacat. Dasar
hukum Khiyar Aib diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:“Sesama
muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada
muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat”. (HR. Ibn Majah
dari ‘Uqbah ibn ‘Amir)
2.
Garansi adalah bagian dari suatu perjanjian
dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang
dijual untuk jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang tersebut mengalami
kerusakan atau cacat, maka segala biaya perbaikannya di tanggung oleh penjual,
sedang peraturan-peraturan garansi biasanya tertulis pada suatu surat garansi. Karena
garansi merupakan perjanjian yang berupa penjaminan terhadap cacat yang
tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam jangka waktu tertentu, maka
garansi merupakan implementasi dari salah satu hukum Islam yaitu tentang
pembeli berhak menggunakan hak khiyarnya apabila terdapat cacat yang tidak
diketahui sebelum transaksi oleh penjual dan pembeli. Hak khiyar yang dimaksud
dalam hal ini adalah khiyar aib (cacat).
Hal ini menunjukkan relevansi antara khiyar
aib dengan garansi, karena kedua jenis penjaminan ini menitik beratkan pada
adanya cacat pada barang yang memberikan hak khiyar pada pembeli untuk
mendapatkan ganti rugi agar tidak terjadi ketidak relaan dalam transaksi jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Salamah, Ummy. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Garansi dalam Jual
Beli. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2002
Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Ekonomi Islam:
Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha. http://alsofwah.or.id/ekonomi_islam/accessed
tanggal 3 april 2008.
Elfarina Binti Mohd Zakaria. Dikutip dari http://baheis.islam.gov.my/web/musykil_new.nsf/92be69fae3f225c0482567f1005a8e7b/51bf2cde2666d16d0025732a0004a786?OpenDocument/accessed
tanggal 28 Maret 2008
Syafi’i,
Rachmat. fiqih muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-
figh Al-Islam wa Adillatuhu, juz IV, 2002
Ibn
Rusdy, 2006.Bidiyatul Mujtahid, Jlid 2,cet-I, Jakarta, Pustka Azzam,
2001
[5]Elfarina Binti Mohd Zakaria, dikutip dari http://baheis.islam.gov.my/web/musykil_new.nsf/92be69fae3f225c0482567f1005a8e7b/51bf2cde2666d16d0025732a0004a786?OpenDocument/accessed
tanggal 28 Maret 2008.
[22]
Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Ekonomi
Islam: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha, http://alsofwah.or.id/ekonomi_islam/accessed
tanggal 3 april 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar