Selasa, 20 Mei 2014

KHIYAR DAN GARANSI


A. PENGERTIAN KHIYAR  
Menurut bahasa khiyar berasal dari kata ikhtiyar yang bermakna memilih. Menurut istilah khiyar adalah hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad[1].
Pengertian Khiyar menurut ulama fiqih adalah:[2]
أن يكون للمتعا قد احق فى امضاء العقد او فسخه ان كان اخيار خيار شرط اورؤسة او عيب او ان يختار احد البيعين ان كان اخيار خيار تعيين      
“suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin.”
Jumlah khiyar sangat banyak dan di antara para ulama telah terjadi perdebatan pendapat.
            Menurut ulama Hanafiyah jumlahnya ada 17. Menurut ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu Khiyar al-taamul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqis (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang di jual (khiyar al-hukmy). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khiyar majlis batal.
            Menurut ulama Syafi’iyah berpendpat bahwa khiyar terbagi dua, Khiyar at-tasyahi adalah khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua Khiyar naqishah yang disebabkan adanya perbedaan lafazh atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau pergantian. Adapun khiyar yang di dasarkan pada syara’ menurut ulama Syafi’iyah ada 16 belas, dan murut ulama Hanabilah jumlah khiyar ada 8 macam[3].
2. JENIS KHIYAR
1.         Khiyar Majlis.

Khiyar majlis menurut ulama fiqih adalah

ان يكون لكل من العا قد ين حق فسخ العقد مادام فى مجلس العقد لم يتفر قابابدانها يخير احد هما الاخر فيختارلزوم العقد.
“Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”

            Khiyar majlis di kenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
Dengan demikian, akad akan menjadi lazim, jika kedua pihak telah berpisah atau memilih. Hanya saja, khiyar majlis tidak dapat berada pada akad. Khiyar majlis hanya ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seperti jual-beli, upah-mengupah, dan lain-lain[4].

            Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih dari pihak yang melangsungkan akad untuk membatalkan (mem-fasakh) kontrak selama mereka masih berada di tempat diadakannya kontrak (majlis akad) dan belum berpisah secara fisik. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak seperti akad muawazhot  dan ijaroh. Madzhab yang sangat vokal membela kedudukan khiyar majlis adalah mazhab Syafi, sedangkan mazhab Maliki dan Hanafi menentang keberadaan khiyar majlis dalam akad[5].

a.       Majelis berarti: tempat transaksi, dengan demikian khiyar majelis berarti hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad selagi mereka berada dalam tempat transaksi dan belum berpisah.

b.      Dalil

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ( البيعان بالخيار ما لم يتفرقا، فإن صدقا وبينا بورك لهما في بيعهما وإن كزبا وكتما محقت بركة بيعهما )

Diriwayatkan dari Hakim Bin Hizam bahwa Nabi bersabda: "Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya jujur dan saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan". (HR. Bukhari Muslim).

c.       Waktu Khiyar Majelis

            Khiyar majelis merupakan hak kedua pihak, waktunya dimulai dari awal akad dan berakhir saat jasad kedua belah pihak berpisah dari tempat akad berlangsung sekalipun akad tersebut berlangsung lama.
            Bilamana akad berlangsung via telepon waktu khiyar berakhir dengan ditutupnya gagang telepon. Dan bilamana berlangsung via internet menggunakan program messenger maka waktu khiyar berakhir dengan ditutupnya program tersebut. Dan bila berlangsung dengan cara mengisi daftar belanja maka ijabnya dengan mengisi daftar yang kemudian dikirim ke pihak penjual, sedangkan pengiriman daftar dari pihak penjual dianggap sebagai qabul. Dan khiyar berakhir dengan terkirimnya daftar belanja yang telah diisi sebelumnya.

d.      Menafikan/menggugurkan khiyar:
           
            Dibolehkan menafikan dan menggugurkan khiyar majelis. Menafikan khiyar, yaitu: kedua belah pihak sepakat sebelum melakukan akad untuk tidak ada hak khiyar bagi keduanya dan akad menjadi tetap dengan ijab dan qabul. Menggugurkan khiyar, yaitu: kedua pihak melakukan transaksi, setelah transaksi dan sebelum berpisah mereka sepakat menggugurkan khiyar, ini biasanya terjadi manakala mejelis akad terlalu lama.

e.       Upaya tipuan untuk menggugurkan khiyar:

            Tidak dibenarkan kedua-belah pihak melakukan tipuan untuk menggugurkan khiyar, seumpama: bersegera meninggalkan majelis akad dengan maksud hak khiyar gugur dari pihak lain. Berdasarkan hadist nabi :
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah, kecuali akad khiar syarat dan tidak dibolehkan seseorang sengaja meninggalkan majelis akad karena khawatir pihak lain membatalkan akadnya.” (HR. Ahmad)[6].

2.    Khiyar Syarat

a.       Arti Khiyar syarat

أن يكون لأحدالعاقد ين او لكيلهما او لغير هما احق فى فسخ العقد او امضا ئه خلال مدة معلومة.
”suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang di tentukan.”

Misalnya, seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga hari[7].
Khiyar disyariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau penipuan bagi pihak yang akad.

b.      Khiyar Masyru’ (disyariatkan )dan khiyar rusak

1)        Khiyar masyru’

Khiyar yang disyariatkan adalah khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Hal itu didasarkan pada hadis Rasulullah SAW. Tentang riwayat Hibban Ibn Munqid yang menipu dalam jual-beli, kemudian perbuatannya itu dilaporkan kepada Rasulullah SAW., lalu beliau bersabda.

ازابا يعت فقل: لاخلابة ولى اخيار ثلاثة ايام. (رواه مسلم)

Jika kamu bertransaksi (jual-beli), katakanlah, tidak ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari.” (HR. Muslim)

2)   Khiyar rusak

     Menurut pendapat paling masyhur di kalangan ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan, “ saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya.” Perbuatan ini mengandung unsur jahalah (ketidak jelasan).

     Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli sperti itu batal. Khiyar sangat menentukan akad, sedangkan batasannya tidak diketahui, sehingga akan menghalangi aqid (orang yang melakukan akad) untuk menggunakan (tasharruf) barang tersebut[8].

     Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jual-beli tersebut fasid, tetapi tidak batal. Jika syarat tersebut belum samapai tiga hari atau tidak bertambah dari tiga hari, atau memberikan penjelasan tentang masa khiyar, akad menjadi sah sebab telah hilang penyebab yang merusaknya. Salain itu, syarat khiyar berubah sesuai dengan landasan asal tersebut.

     Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penguasa diharuskan membatasi khiyar secara adat sebab khiyar bergantung pada barang yang di jadikan akad. Namun, tidak boleh telalu lama melewati batasan khiyar yang telah ditetapkan atau membatasi khiyar dengan seuatu yang tidak jelas, seperti mensyaratkan khiyar turunya hujan atau sampai datang seseorang.


c.       Batasan Khiyar Masyru’

            Ulama Hanafiyah, Jafar, dan Syafi’i berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Golongan ini, selain beralasan dengan hadis dari Munqib di atas, juga berdasarkan pada hadis dari Ibn Umar tentang pernyataan Anas:

ان رجلا اشترى من رجل بعيرا واشترط عليه اخيار اربعة ايام. فابطل رسول الله ص.م. البيع وقال: اخيار ثلاثة ايام.
 (رواه عبد الرزاق)

Artinya:“Seseorang laki-laki memberi seekor unta dari laki-laki lainya, dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari, Rasulullah SAW membatalkan jual-beli tersebut dan bersabda. “Khiyar adalah tiga hari.” (HR. Abdurrazaq)

            Ulama Hanafiyah dan Ja’far berpendapat bahwa waktu tiga hari adalah waktu cukup dan memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian, jika melewati tiga hari, jual-beli tersebut batal. Akan tetapi, akad tersebut dapat menjadi sahih, jika diulangi dan tidak melewati tiga hari. Adapun menurut ja’far, jika diulangi dan tidak melewati tiga hari, tidak dapat menajdi akad yang sahih.

            Imam Syafi’i pun berpendapat bahwa khiyar yang melebihi tiga hari membatalkan jual-beli, sedangkan  bila berkurang dari tiga hari, hal itu adalah rukhshah (keringanan)[9].

            Menurut ulama Hanabilah, Khiyar diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang akad, baik sebentar maupun lama. Hal itu didasarkan antara lain pada pernyataan Ibn Umar yang membolehkan khiyar lebih dari sebulan. Selain itu Khiyar Syarat  sangat berkaitan dengan orang yang memberikan syarat. Oleh karena itu, disertahkan kepada orang yang melakukan akad[10].

            Menurut malikiyah berpendapat bahwa  Khiyar Syarat dibolehkan sesuai dengan kebutuhan. Buah-buahan yang akan rusak sebelum tiga hari, dibolehkan khiyar kurang dari tiga hari. Golongan ini beralasan bahwa  hakikatnya khiyar ditujukan untuk menguji barang yang di jual sehingga berbeda-beda bagi tiap-tiap barang.

3.        Khiyar ‘Aib (cacat)
a.      Arti dan landasan Khiyar ‘Aib
Khiyar ‘Aib (cacat) menurut ulama Fiqih

ان يكون لأحد العاقد ين اخق فى فسخ العقد او امضاءه ازاوجد عيب فى احد البد لين ولم يكن صا حبه عالما به وقت العقد.

Artinya: ”keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah yang dijadikan alat tukr-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.

            Dengan demikian, penyebab, khiyar aib adalah adanya cacat dan barang yang dijualbelikan (ma’qud alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang dan yang akad[11].

            Ketetapan adanya khiyar mensyaratkan adanya barang pengganti, baik di ucapkan secara jelas ataupun tidak, kecuali jika ada keridhoan dari yang akad. Sebaliknya, jika kita tampak adanya kecacatan, barang pengganti tidak di perlukan lagi.

Khiyar ‘Aib di syariatkan dalam Islam, yang didasarkan pada hadis-hadis yang cukup banyak, di antaranya:

المسلم اخوالمسلم لا يحل لمسلم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الا بينه له. ( رواه ابن ماجه عن عقبة بن عامر)
Artinya: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudara nya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskannya terlebih dahulu.”  (HR. Ibn Majah dari Uqbah Ibn Amir).

مر النبي ص.م. برجل يبيع طعا ما فاد خل يده فيه فازا هو مبلول فقل: من غشنا فليس منا
Artinya: “Suatu hari Rasulullah SAW, melawati seorang pedagang makannan, kemudianbeliau mencelupkan makanannya keatas makanan tersebut, dan mengetahui makanan itu basah (basi). Bersabda, “ Barang siapa yang menipu kita, dia bukan dari golongan kita.”[12]

b.      ‘Aib Mengharuskan Khiyar

Ulama Hanafiyah dan Hanabilah  berpendapat bahawa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukan adanya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik yang sedikit atau yang banyak[13].

Menurut ualama Syafiiyah adalah segala sesuatu yang dapat di pandang berkurang nilainya dari barang yang di maksud atau tidak adanya barang yang di maksud, seperti sempitnya sepatu, potongannya tanduk binatang yang akan dijadikan korban.

c.       Syarat Tetapnya khiyar

            Disyariatkan untuk tetapkannya khiyar ‘Aib setelah diadakan penelitian yang menunjukan.

1.    Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum di serahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setealah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, aib tersebut tidak tetap.
2.    Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang. Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima barang, tida ada khiyar sebab ia di anggap telah ridha.
3.    Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkannya, tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskannya, gugurlah hak dirinya. Hal itu sesuai dengan pendapat Hanafiyah.

Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan menurut satu riwayat dari Hanabilah, berpendapat bahwa seseorang penjual tidak sah  meminta sebut sudah diketahui oleh keduanya, kecuali jika ‘aib tidak di ketahui pembeli.

d.      Waktu Khiyar ‘Aib

          Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupunakad telah berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan, terdapat dua pendapat[14].

            Ulama Hanafiyah dan hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah di ketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni disyariatkan secara langsung. Dengan demikian, ketika diketahui adanya cacat, tetapi pengembalian diakhirkan, hal itu tidak di membatalkan Khiyar sehingga ada tanda-tanda yang menunjukan keridhaan. Hal ini karena disyariatkannya khiyar, antara lain untuk mencegah kemudaratan. Oleh karena itu, tidak batal dengan mengakhirkannya. Selain itu, suatu khiyar akan tetap ada dan tidak gugur, kecuali bila digugurkan atau habisnya waktu, pedahal khiyar ini tidak dibatasi oleh waktu.

            Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendpat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat, yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh di tangguhkan. Namun demikian, tidak di anggap menanguhkan jika diselingi shalat, makan, minum. Di antara sebabnya, supaya orang yang akad tidak mudarat karena mengakhirkan, yakni hilang nya hak khiyar karena mengakhirkan sehingga menjadi lazim.

C. MASA KHIYAR MENURUT ULAMA
Adapun masa khiyar menurut ulama yang membolehkannya:
1.      Malik berpendapat tidak memiliki batasan tertentu  dalam khiyar tersebut, dan hal tersebut sesuai dengan kebutuhan kepada berbagai macam barang yang di jual. Hal tersebut berbeda-beda berdasarkan perbedaan barang yang di jual. Ia berkata, “Seperti satu atau dua hari dalam meneliti pakaian, satu pekan lima hari dalam meneliti sahaya wanita, satu bulan atau yang semisalnya meneliti rumah”
            Kesimpulannya adalah menurut dia tidak boleh ada waktu panjang yang melebihi kebutuhan meneliti barang dagang[15].

2.      Syafi’i serta Abu Hanifah berkata, “Batasan khiyar adalah tiga hari, tidak boleh lebih dari itu.
3.      Ahmad, Abu Yusuf, serta Muhammad bin Al-Hasan berkata, “Boleh melakukan khiyar untuk masa yang telah ia syaratkan.” Dan itulah yang menjadi pendapat Daud.
Para ulama berbeda pendapat mengenai khiyar secara mutlak yang tidak terikat waktu tertentu.
1.      Ats-Tsauri, Al Hasan bin Jinni serta kelompok para ulama berpendapat dibolehkannya mensyaratkan secara mutlak dan ia memiliki khiyar selama nya.
2.      Malik berpendapat di bolehkannya khiyar mutlak akan tetapi penguasa memberikan batasan waktu padanya dengan waktu yang semisalnya.
3.      Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bagaimanapun juga tidak boleh melakukan khiyar mutlak dan jual beli tersebut rusak.
Abu Hanifah serta Syafi’i syafi’i berbeda pendapat apabila khiyar tersebut terjadi dalam tiga hari pada masa khiyar mutlak.
1.      Abu Hanifah berkata,” Apabila telah terjadi dalam tiga hari maka boleh dan apabila melewati tiga hari maka jual beli rusak.”
2.      Syafi’i berkata, “Jual beli tersebut bagaimanapun keadaannya adalah rusak”..
            Penjual dan pembeli berhak memelih (khiyar) sebelum keduanya berpisah. Keduanya boleh mensyaratkan khiyar selama tiga hari. Jika barang yang dibeli tersebut mengandung cacat, maka pembeli boleh mengembalikannya[16].
            Tidak boleh menjual buah-buahan secara mutlak kecuali setelah tampak kematangannya. Tidak boleh malakukan jual beli sesuatu yang mengandung riba dengan sejenisnya dalam keadaan basah, kecuali menjual susu.
D. GARANSI
1. Pengertian Garansi Jual Beli.
            Kata garansi berasal dari bahasa inggris Guarantee yang berarti jaminan atau tanggungan. Dalam kamus besar bahasa indonesia, garansi mempunyai arti tanggungan, sedang dalam ensiklopedia indonesia, garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual untuk jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat, maka segala biaya perbaikannya di tanggung oleh penjual, sedang peraturan-peraturan garansi biasanya tertulis pada suatu surat garansi[17].
            Dengan demikian, garansi merupakan salah satu bentuk layanan yang diberikan penjual kepada pembeli sebagai pemenuhan terhadap hak-hak pembeli. Terutama hak untuk memperoleh barang yang sesuai dengan nilai tukar yang dikeluarkan. Pada tahap ini kepuasan konsumen atau kekecewaannya berkenaan dengan transaksi yang diselenggarakan akan segera menjadi kenyataan, apakah barang yang telah dibeli oleh konsumen tersebut berkualitas baik atau tidak. Untuk mengetahui hal ini, maka garansi memiliki peranan yang sangat penting bagi konsumen.
            Jadi pelayanan garansi merupakan bentuk penanggungan yang menjadi kewajiban penjual kepada pembeli terhadap cacat-cacat barang yang tersembunyi. Selain itu garansi juga sebagai salah satu upaya untuk melindungi kepuasan konsumen.
2. Tujuan dan Fungsi Garansi Jual Beli.
            Dalam perkembanagn dunia perdagangan dewasa ini, garansi merupakan kepentingan konsumen yang sangat vital, sehingga garansi dalam jual beli memiliki fungsi sebagai penjaminan apabila dalam masa-masa garansi ditemukan cacat-cacat tersembunyi oleh pembeli dan pengikat terhadap pihak penjual untuk memenuhi prestasi (kewajiban) yang telah disepakati bersama dengan pembeli.
            Mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan kesepakatan antara kedua pihak dalam perjanjian garansi jual beli biasanya tercantum dalam surat garansi yang diberikan kepada pembeli, antara lain berupa jenis cacat yang termasuk dalam penjaminan masa garansi dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut biasanya dibuat oleh pihak penjual sebelum transaksi sehingga pembeli tidak ikut andil dalam memutuskan ketentuan-ketentuan itu. Pembeli tidak berhak untuk menawar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penjual. Dalam perjanjian ini, pembeli hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu:
  • Jika pembeli ingin melakukan transaksi, maka harus sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
  • Jika pembeli tidak sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut, maka transaksi tidak akan terjadi[18].       
3. Bentuk Cacat Dalam Perjanjian Jual Beli
            Dalam perjanjian garansi jual beli, prestasi (kewajiban) yang harus dilakukan oleh penjual adalah berupa menanggung segala cacat yang tersembunyi pada barang yang diperdagangkan. Jadi dalam hal ini, cacat tersembunyi merupakan hal yang sangat penting. Yang dimaksud cacat tersembunyi adalah cacat yang tidak mudah dilihat oleh pembeli. Menurut pasal 1504 KUHPdt, yang dimaksud cacat tersembunyi adalah cacat yang membuat barang itu tidak sanggup untuk dipakai semestinya, sehigga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barang itu atau membelinya dengan harga yang murah[19].
            Apabila cacat tersebut telah diketahui sebelumnya oleh pembeli, maka penjual tidak bertanggung jawab terhadap cacat yang kelihatan tersebut, karena dapat dianggap bahwa pembeli menerima adanya cacat dengan harga yang disesuaikan dengan adanya cacat. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam KUHPdt pasal 1505, bahwa penjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan yang telah diketahui oleh pembeli. Dengan demikian, dalam perjanjian garansi jual beli, penjual memiliki kewajiban untuk menanggung cacat-cacat barang yang tersembunyi dan tidak diketahui sebelum adanya transaksi.
            Adapun hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli dalam perjanjian garansi jual beli dapat dijumpai dalam undang-undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Diantara hak dan kewajiban tersebut adalah:
  • Pembeli berhak untuk memilih barang, serta mendapatkan barang tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
  • Pembeli berhak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang.
  • Pembeli berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
  • penjual wajib memberikan informasi yang benar, mengenai kondisi dan jaminan barang serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
  • Penjual wajib menjamin mutu barang yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang berlaku.
  • Penjual berkewajiban untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang tertentu serta memberi jaminan garansi atas barang yang diperdagangkan.
  • Penjual wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian[20].
4. Ketentuan Operasi Garansi Jual Beli.
            Garansi jual beli merupakan jenis fasilitas dari penjual yang sangat bermanfaat bagi semua pihak, baik bagi pemberi garansi (penjual) sendiri maupun bagi penerimanya (pembeli) serta bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, tidak menimbulkan bagi orang lain, melainkan merupakan tindakan saling tolong menolong dalam kewajiban yang sangat dianjurkan oleh agama.
            Garansi jual beli sebagaimana yang berjalan sekarang ini memang tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW, namun bukan berarti terlarang, karena pada dasarnya semua bentuk muamalat adalah boleh, sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:
            Dalam Islam, manusia juga diberi kebebasan untuk mengatur kehidupannya sendiri yang dinamis dan lebih bermanfaat, sepanjang aturan yang dibuatnya tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan syari’at islam termasuk melakukan berbagai macam bentuk muamalat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila ada suatu kelaziman yang diterima ditengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan syari’at, maka kelaziman tersebut bisa dijadikan hukum. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi “Adat kebiasaan yang diakui dapat dijadikan sebagai landasan hukum”. Dengan kata lain, bahwa pelayanan garansi jual beli sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum muamalat sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahmad Azhar Basyir yaitu:
  • Pada dasarnya segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan hadits.
  • Muamalat dilaksanakan atas dasar suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan.
  • Muamalat dilakukan atas dasar pertimbagan mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudaratan.
  • Muamalat dilakukan dengan memelihara nilai keadilan[21].
            Karena garansi merupakan perjanjian yang berupa penjaminan terhadap cacat yang tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam jangka waktu tertentu, maka dalam hukum Islam pembeli berhak menggunakan hak khiyarnya apabila terdapat cacat yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh penjual dan pembeli. Hak khiyar yang dimaksud dalam hal ini adalah khiyar aib (cacat). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, khiyar aib adalah hak untuk memilih antara meneruskan atau membatalkan akad apabila ditemui cacat pada barang yang dipejual belikan. Tetapi hak khiyar tidak berlaku pada cacat yang telah diketahui sebelum yerjadi jual beli. Namun demikian Islam melarang jual beli yang mengandung cacat, tetapi berusaha disembunyikan untuk mendapatkan harga dan keuntungan yang tinggi.


5. Cacat Dalam Perjanjian
            Pelaksanaan terhadap perjanjian usaha terkadang menemui berbagai cacat yang bisa menghilangkan keridhaan satu pihak, atau membuat cacat objek perjanjian, sehingga pihak yang merasa dirugikan bisa membatalkan perjanjian tersebut[22]. Di antara cacat-cacat itu adalah:
a. Intimidasi.
            Yakni memaksa pihak lain terhadap ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya, melalui gertakan dan ancaman. Intimidasi ini ada dua macam: Intimidasi fungsional, yakni yang dapat merusak keridhaan dan hak pilih. Biasanya dilakukan dengan ancaman bunuh, membikin cacat anggota tubuh atau merampas seluruh harta pihak yang diintimidasi. Intimidasi non fungsional. Yakni intimidasi yang tidak menghilangkan keridhaan, dan tidak merusak hak pilih, biasanya dilakukan dengan ancaman pukul atau merampas sebagian harta pihak yang diintimidasi. Para ulama telah bersepakat bahwa segala bentuk aktivitas finansial tidak bisa berlaku di bawah intimidasi. Namun mereka berbeda pendapat bila ternyata pihak yang diintimidasi merasa rela, setelah tidak diintimidasi lagi.
b. Kekeliruan.
            Yakni kekeliruan yang berkaitan dengan objek perjanjian. Seperti orang yang membeli perhiasan berlian, ternyata yang didapatinya perhiasan terbuat dari kaca. Kekeliruan itu sendiri terbagi menjadi dua:
  • Kekeliruan yang membatalkan perjanjian, yakni bila terjadi perbedaan jenis atau fasilitas objek perjanjian secara signifikan. Seperti perbedaan antara emas dengan tembaga, atau antara bang-kai dengan hewan sembelihan yang sudah berupa daging.
  • Kekeliruan yang tidak sampai membatalkan perjanjian, akan tetapi pihak yang dirugikan tetap diberi hak untuk mem-batalkan perjanjian itu. Yakni ketika terjadi perbedaan yang bukan pada jenis atau fasilitas objek secara signifikan. Seperti orang yang membeli hewan dengan dugaan jantan, ternyata betina[23].
c. Penyamaran Harga.
            Yakni terjadinya kekurangan pada salah satu barang barter atau kompensasi, atau terjadinya tukar menukar yang tidak adil (dan diketahui salah satu pihak). Penyamaran harga itu sendiri ada dua macam:
            Penyamaran ringan. Yakni yang tidak menyebabkan objek perjanjian keluar dari harga pasaran dengan perkiraan harga para pakar perniagaan. Penyamaran ringan semacam ini dapat dimaklumi, bahkan hampir tidak ada jual beli yang selamat dari penyamaran semacam ini, sehingga tidak berpengaruh sama sekali. Yang kedua adalah penyamaran berat yang sampai mengeluarkan barang perjanjian dari harga pasaran. Mengenai pengaruhnya terhadap perjanjian usaha, ada tiga pendapat di kalangan para ulama:
  • Tidak perlu dipedulikan sama sekali, demi menjaga kemaslahatan berlangsungnya perjanjian usaha.
  • Atau menganggapnya dapat membatalkan perjanjian secara mutlak, demi menjaga pihak yang dirugikan agar tidak mendapatkan perlakuan semena-mena.
  • Atau dilihat dahulu, kalau dengan tujuan menipu (yakni disengaja), dapat membatalkan perjanjian. Namun bila tidak bertujuan demikian, maka tidak berpengaruh apa-apa. Kemungkinan pendapat terakhir ini adalah yang paling tepat.
6. Bentuk Penjaminan Dalam Transaksi Jual Beli
            Adapun bentuk penjaminan terhadap cacat tersembunyi dalam perjanjian garansi jual beli  berupa perjanjian servis gratis, mengganti barang dengan yang baru, tidak lepas dari unsur keadilan, sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan benar-benar berdasarkan pada kerelaan hati pihak-pihak yang bersangkutan yang merupakan syarat utama dalam muamalat, seperti juga ditetapkannya hak khiyar aib yaitu hak untuk memilih melanjutkanatau membatalkan karena adanya cacat dengan tujuan untuk menjamin agar akad yang diadakan benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak yang bersangkutan yang merupakan asas bagi sahnya suatu akad.
            Dalam perjanjian garansi jual beli diatur bahwa penjual berkewajiaban untuk memenuhi pelayanan garansi yang sudah ditentukan, sebagaimana yang termaktub dalam pasal 25 (1) undang-undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan dalam pasal 1338 KUHPdt yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang telah dibuat, secara sah adalah mengikat para pihak yang membuatnya sebagai undang-undang diantara mereka[24]
            Hal ini senada dengan hukum Islam yang menyatakan bahwa seorang muslim berkewajiban untuk memenuhi janji yang telah mereka sepakati, karena janji tersebut akan dimintai pertanggung jawabannya. Dengan demikian sebagai bentuk perjanjian penanggungan sebuah kewajiban, garansi jual beli membawa konsekuensi logis pada adanya tuntutan pembayaran atau pemenuhan terhadap kewajiban tersebut oleh pembeli apabila penjual ternyata tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat dalam perjanjian, serta tuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pembeli.
            Apabila terjadi perubahan kondisi mendatang pada masa terjadinya perjanjian secara drastis, seperti kenaikan nilai mata uang, kenaikan bahan-bahan pokok, sehingga pelaksanaan perjanjian usaha tersebut sesuai perjanjian dapat menimbulkan kerugian besar bagi pihak yang menjaga komitmen yang harus ia tanggung, maka pihak hakim boleh merubah hak-hak dan komitmen bila terjadi konflik, sehingga kerugian ditanggung secara bersama oleh kedua belah pihak. Pihak pelaksana perjanjian juga berhak membatalkan perjanjian yang masih berlangsung kalau ia melihat lebih baik untuk dibatalkan saja, tentunya dengan memberikan kompensasi seimbang kepada pihak yang memiliki hasil perjanjian. Pihak hakim juga boleh membiarkan pelaksana untuk meneruskan pelaksanaannya kalau ia melihat itu lebih baik demi kemaslahatan pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.[25]

KESIMPULAN
1.    Khiyar aib adalah hak untuk membatalkan atau meneruskan akad bila mana ditemukan aib (cacat), sedang pembeli tidak tahu tentang hal itu pada saat akad berlangsung. Persoalan ini muncul saat barang yang ditransaksikan itu cacat atau alat penukarnya berkurang nilainya  dan itu tidak diketahui oleh pembeli. Dalam setiap transaksi, pihak yang terlibat secara implisit  menghendaki agar barang dan penukarnya bebas dari cacat. Hal ini masuk akal karena pertukaran itu harus dilangsungkan secara suka sama suka dan ini hanya mungkin jika barang dan penukarnya tidak mengandung cacat. Dasar hukum Khiyar Aib diantaranya adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:“Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat”. (HR. Ibn Majah dari ‘Uqbah ibn ‘Amir)
2.    Garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual untuk jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat, maka segala biaya perbaikannya di tanggung oleh penjual, sedang peraturan-peraturan garansi biasanya tertulis pada suatu surat garansi. Karena garansi merupakan perjanjian yang berupa penjaminan terhadap cacat yang tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam jangka waktu tertentu, maka garansi merupakan implementasi dari salah satu hukum Islam yaitu tentang pembeli berhak menggunakan hak khiyarnya apabila terdapat cacat yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh penjual dan pembeli. Hak khiyar yang dimaksud dalam hal ini adalah khiyar aib (cacat).
        Hal ini menunjukkan relevansi antara khiyar aib dengan garansi, karena kedua jenis penjaminan ini menitik beratkan pada adanya cacat pada barang yang memberikan hak khiyar pada pembeli untuk mendapatkan ganti rugi agar tidak terjadi ketidak relaan dalam transaksi jual beli.
 
DAFTAR PUSTAKA

Salamah, Ummy. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Garansi dalam Jual Beli. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2002
Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Ekonomi Islam: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha. http://alsofwah.or.id/ekonomi_islam/accessed tanggal 3 april 2008.
Syafi’i, Rachmat. fiqih muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001
 Al-Zuhaili, Wahbah,  Al- figh Al-Islam wa Adillatuhu, juz IV, 2002
Ibn Rusdy, 2006.Bidiyatul Mujtahid, Jlid 2,cet-I, Jakarta, Pustka Azzam, 2001


                [1] Yusuf Al Subaily, Pengantar fiqh muamalat dan aplikasinya dalam ekonomi modern, hlm.10
                [2] Wahbah Al-Zuhaili, Al- figh Al-Islam wa Adillatuhu, juz IV, hlm. 250
                [3] Rachmat syafi’i, fiqih muamalah,(Bandung: Pustaka Setia,2001), hlm. -103104
            [4] Ibid. h. 112-113
                [6] Yusuf Al Subaily, Op.Cit., hlm.11-12
                [7] Rachmat syafi’i,Op.Cit., hlm. 104
            [8] Ibid, h. 106
                [9]  Ibid
                [10] Ibid, h. 107
                [11] Ibid, h. 115
            [12] Ibid
                [13] Ibid, h. 117
                [14] Ibid.
                [15] Ibnu Rusdy, Bidiyatul Mujtahid, (Jakarta:Pustaka Azzam,2007), jilid 2, hlm. 413-414
                [16] Ibid.
                [17] Ummy Salamah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Garansi dalam Jual Beli. (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 2002), hal. 41
                [18] Ibid.
                [19] Ibid., hal. 44
                [20] Ibid., hal. 45.
                [21] Ibid. h, 49.
                [22] Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Ekonomi Islam: Hukum-Hukum Umum Dalam Perjanjian Usaha, http://alsofwah.or.id/ekonomi_islam/accessed tanggal 3 april 2008.
                [23] Ibid.
                [24] Ummy Salamah, Op.Cit, hal. 50-51
                [25] Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Op.Cit,