Sabtu, 12 April 2014

Imam Abu Hanifah



 1.    Imam Abu Hanifah an-Nu’man

a.    Riwayat hidup Abu Hanifah
     Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit terlahir (di Ambar, Kota Kufah) tahun 80 H di Zaman Dinasti Umayyah, ketika raja Abdul Malik bin Marwan memerintah. Pada waktu itu sejumlah sahabat Nabi Muhammad masih banyak hidup dikatakan pula bahwa ayah beliau pernah memberikan hadiah pada Sayyidina Ali pada saat hari Niruz (hari pesta rakyat). Ayah beliau pernah berkata “Aku mendapatkan barokah dari Sayyidina Ali, khusus untuk diriku.”
b.    Nama dan Gelar Abu Hanifah
     Imam Abu Hanifah diberi gelar an-Nu’man (yang berarti darah atau roh), agar menjadi generasi penerus kebaikan. Karena ayah beliau terkenal sebagai tulang punggung fiqih dan masyarakat. Dari tangan beliau (Ayah Abu Hanifah) fiqih dan sistematikanya muncul. Sedangkan gelar Hanifah (mu’annats dari kata hanif ) yang berarti ahli ibadah, diperoleh karena beliau senang atau condong terhadap agama dan kebenaran. Dikatakan pula latar belakang Imam Abu Hanifah  mendapat gelar (hanifah)  karena beliau terus menerus membawa tinta (tinta dalam bahasa irak adalah hanifah).
c.     Sifat Abu Hanifah
     Imam Abu Hanifah adalah termasuk orang-orang yang paling tampan, fasih dalam berbicara, sempurna dalam menyampaikan ide, merdu suaranya, serta jelas dalam menyampaikan aspirasinya.
     Beliau seorang yang memiliki wajah tampan, jenggot tertata rapi, tingkah dan pemakaiannya bagus, menghormati forum, sikapnya bagus, beribawa, pemurah banyak memeberi bantuan pada temennya dan senang wangi-wangian. Oleh karena itu beliau sangat senang wangi-wangian, masyarakat sekitarnya mengetahui kalau beliau keluar rumah dari wangi-wangian yang beliau gunakannya, sekalian tanpa harus melihat beliau secara fisik.[1]

d.    Karya-Karya Abu Hanifah, Murid-Muridnya Serta Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya
     Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Mueslems mengatakan, bahwa Abu hanifah meninggalkan tiga karya besar, yaitu: figh akbar, al-‘Alim wa al-Muta’lim dan musnad figh akbar, sebuah majalah ringkasan yang sangat terkenal. Disamping itu Abu Hanifah membentuk badan yang terdiri dari tokohcendikiawan dan ia sendiri sebagai ketuanya. Badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran islam dalam bentuk tulisan dan mengalihkan syariat islam kedalam undang-undang.
     Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The Spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah fikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga sehingga menjadi mazhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang. Madrasah ini kemudian dikenal dengan beberapa nama, yaitu madrasah  Hanafi dan madrasah ahli ra’yi, di samping namanya menurut versi sejarah hukum islam sebagai “Madrasah Kufah”.
     Adapun murid-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya sehingga dikenal di dunia islam, aalah:
1)    Abu Yusuf Ya’cub ibn Ibrahim al- Anshary (113-182 H)
2)    Muhammad ibn Hasan al-Syaibany (132-189 H)
3)    Zufar ibn huzail ibn al-Kufy (110-158 H)
4)    Al-Hasan ibn Ziyad al-Lu’lu’iy (133-204 H)
     Dari ke empat murid tersebut yang banya menyusun buah fikiran  Abu Hanifah adalah Muhammad al-Syaibany yang terkenal dengan al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:
1)    Kitab al-Mabsuth
2)    Kitab al-Ziyadat
3)    Kitab al-Jami’ al-Shaghir
4)    Kitab al-Jami’ al-Kabir
5)    Kitab al-Sair al-Shaghir
6)    Kitab al-Sair al-Kabir
     Di samping yang bernama Abu Yusuf yang menjadi Qadhy al-Qudhat di zaman Khalifah Harun al-Rasyid, menulis kitab “al-Kharaj” yang membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.
     Dengan karya-karya tersebut, Abu Hanifah dan Mazhabnya berpengaruh besar dalam dunia Islam, khususnya umat Islam yang beraliran Sunny. Para pengikut terbesar dari berbagai negara, seperti irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syria, Mesir dan libanon. Mazhab Hanafi pada yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada pemerintah kerajaan Utsmani, mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Sekarang penganut mazhab ini tetap termasuk golongan mayoritas disamping mazhab Syafi’i.[2]






[1] Prof. Dr. Ali Fikri, Kisah-kisah Para Imam Mazhab, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2003. hlm, 3-4
[2] Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Gaung Persada, 2011, hlm.112-114

IMAM SYAFIE



A. BIOGRAFI IMAM SYAFIE

1.    Riwayat hidup

     Imam Syafie dilahirkan di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H.(767M).Menurut suatu riwayat pada tahun itu juga wafatnya Imam Abu Hanifah. Nama lengkap adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafie bin Saib bin Ubayd bin Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf bin Ibnu Qushay Al-Quraisyi.

     Abdul Manaf bin Qushay kakek kesembilan dari Imam Syafie adalah Abdu Manaf bin Qushay kakek keempat dari Nabi Muhammad SAW .Jadi nasab Imam Syafie bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Abdul Manaf.

     Adapun nasab Imam Syafie bin Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husen bin Ali bin Abi Thalib menantu Nabi Muhammad SAW ,dan juga khalifah keempat yang terkenal. Maka dalam sejarah ditemukan bahawa Saib bin Yazid kakek Imam Syafie yang kelima adalah sahabat Nabi Muhammad SAW.[1]

     Ketika ayah Imam Syafie meninggal ia masih kecil. Ketika Imam Syafie baru berusia lima tahun dibawa oleh ibunya ke Mekah. Ia dibesarkan oleh ibunya dalam keadaan fakir.

2.    Pendidikan

     Imam Syafie diasuh oleh ibunya dengan dibekali pendidikan sehingga pada umur tujuh tahun Imam Syafie sudah dapat menghafal Al-Quran . Ia mempelajari Al-Quran dari Ismail bin Qastantin, adalah qari kota Makkah ,dan menurut setengah riwayat bahwa Imam Syafie pernah khatam Al-Quran dalam bulan Ramadhan sebanyak 60 kali.
     Imam Syafie telah pergi dari Makkah menuju dusun Bani Huzayl untuk mempelajari bahasa Arab karena di sana terdapat pengajar-pengajar bahasa Arab yang fasih dan asli ,dan      Imam Syafie menetap di Bani Huzayl selama 10 tahun lebih kurang. Pada Bani Huzayl ia mempelajari sastra Arab dan menghafal syiir-syiir dari Amru Al-Qais ,Zuhaer dan Jarir. Dengan mempelajari sastera Arab dan mampu memahami kandungan Al-Quran yang mempunyai bahasa Arab yang fasih dan murni . Imam Syafie diberi kepercayaan oleh kaum Huzayl dalam soal syiir-syiir.

     Imam Syafie mempelajari hadist dari Imam Malik di Madinah sehingga pada usia 13 tahun ia telah dapat menghafal kitab Muwattha Imam Malik. Sebelum itu, Imam Syafie pernah belajar hadist kepada Sufyan bin Uyainah salah seorang ulama hadist di Makkah. Adapun belajar fiqih Imam Syafie menuntut dari Muslim bin Khalid Al-Zanji seorang mufti Makkah.

     Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani selain kepada Muslim bin Khalid Al-Zanjiy, Malik dan Sufyan bin Uyainah ,Imam Syafie belajar kepada Ibrahim bin Said bin Salim Alqadah, Al-Darawardiy , Abdul Wahab As-Saqafiy,Ibnu Ulaiyah ,Abu Damrah,Hatim bin Ismail, Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya ,Ismail bin jafar, Muhammad bin Khalid Al-Jundiy, Umar bin Muhammad bin Ali bin Syafie , Athaf bin Khalid Al-Mahzumiy, Hisyam bin Yusuf Al-Sanaaniy dan sejumlah lagi ulama yang lain. Imam Syafie belajar kepada Imam Malik di Madinah sampai meninggal. Setelah berguru kepada Imam Malik, Imam Syafii lalu pindah ke Yaman. Di Yaman, dia terkenal sebagai seorang yang berbudi luhur dan mengajak manusia untuk mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Di perkenalkan dengan metode-metode cemerlang yang baik sekali dan metode tersebut sudah terkenal di sana. Dari Yaman lalu pindah ke Irak, Imam Syafii menyibukkan diri dengan ilmu agama.

     Tahun 195H Al-Syafie pergi ke Baghdad dan menetap di sana selama 2 tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Makkah. Pada tahun 198H ia kembali ke Baghdad dan menetap di sana beberapa bulan , kemudian tahun 198H pergi ke Mesir dan menetap di Mesir sampai wafat pada tanggal 29 Rajab sesudah menunaikan shalat isya. Imam Syafie dikuburkan di suatu tempat di Qal’ah yang disebut Misru Al-Qadimah.[2]

3.    Pendapat ulama tentang Imam Syafie

     Abu Nuaim Al-Hafizh berkata bahwa terdapat di kalangan imam yang sempurna, berilmu dan mengamalkannya, berakhlak mulia dan dermawan. Merupakan cahaya di waktu gelap yang menjelaskan segala kesulitan ilmu menerangi belahan bumi dari bagian timur sampai barat. Mazhabnya diikuti banyak orang karena mazhabnya didasarkan pada sunnah, atsar dan sesuatu yang telah disepakati para sahabat anshar dan muhajirin ,ulama itu adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafii.[3]

     Dari Suwaid bin Said, dia berkata “ Pada waktu itu sedang bersama Sufyan bin Uyainah, ketika Muhammad bin Idris As-Syafii datang dan lalu duduk , Ibnu Uyainah membacakan satu hadist ringan. Ketika dikatakan kepada Ibnu Uyainah,” Wahai Abu Muhammad, Muhammad bin Idris meninggal”, maka Ibnu Uyainah langsung menjawab,” Jika Muhammad bin Idris meninggal maka hilanglah orang yang paling mulia di masanya.”[4]

     Bahr bin Nashr berkata,” Di masa Imam Syafii aku belum pernah melihat dan mendengar ada orang yang lebih bertakwa dan warak melebihi Imam As-Syafii. Begitu pulaaku juga belum pernah mendengar ada orang yang melantunkan Al-Quran dengan suara yang lebih bagus darinya.”[5]

     Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan bahwa Imam Syafii membagikan malam menjadi tiga bagian yaitu sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga akhir untuk tidur.[6]

     Bahr bin Nashr berkata,”Ketika kami hendak menangis maka satu sama lain di antara kami berkata,”Mari kita bersama-sama kepada pemuda al-Muthalibi (Imam Syafie) untuk mendengar bacaan Al-Quran darinya. Ketika kami sampai dia langsung membuka Al-Quran dan membacanya sampai banyak orang sulit untuk membendung dari keluar air mata. Tatkala Imam Syafii melihat ramai terisak-isak menangis maka dia pun terus menghentikan bacaannya.[7]
4.    Pola pemikiran dan metode istidhlal Imam Syafie
     Pegangan Imam Syafie dalam menetapkan hukum adalah Al-Quran, as-Sunnah, Ijmak, dan Qiyas sesuai dengan perkataannya dalam kitab al-Umm yang berbunyi :Imam Syafie memandangkan al-Quran dan as-Sunnah mempunyai kedudukan tertinggi. Maka ia menempatkan as-Sunnah sejajar dengan al-Quran karena beliau berpendapat bahwa as-Sunnah menjelaskan al-Quran kecuali hadist ahad tidak sama nilainya dengan al-Quran dan hadist mutawatir. Di samping itu, karena al-Quran dan Sunnah keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan as-Sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-Quran.
     Dalam pelaksanaannya, Imam Syafie menempuh cara bahwa apabila di dalam Al-Quran sudah tidak ditemukan dalil yang dicari maka digunakan hadist mutawatir dan jika tidak ditemukan dalam hadist mutawatir maka digunakan khabar ahad. Jika tidak ditemukan juga dalil semua itu maka dicoba untuk menetapkan hukum berdasarkan zhahir al-Quran atau as-Sunnah secara berturut. Dengan teliti ia mencoba untuk menemukan mukhassis dari Al-Quran dan as-Sunnah. Walaupun Imam Syafie berhujah dengan hadist ahad namun beliau tidak menempatkannya sejajar dengan al-Quran dan hadist mutawatir karena al-Quran dan hadist mutawatir saja yang qatiey ketetapannya, dan menjadi kafir serta disuruh bertobat orang yang mengingkarinya.
     Imam Syafie menetapkan beberapa syarat untuk menerima hadist ahad antaranya harus perawinya thiqah yaitu orang yang terpercaya dan menolak hadist yang datang dari perawi yang tidak thiqah , harus bagi perawinya berakal memahami apa yang diriwayatkannya, harus bagi perawi dhabit yaitu kuat ingatannya, harus bagi perawi benar-benar mendengar sendiri hadist itu dari orang yang menyampaikan kepadanya dan harus bagi perawi itu tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadist itu.
     Dalam Ijmak, Imam Syafie memandang bahwa ijmak adalah hujah dan ia menempatkan ijmak sesudah al-Quran dan al-Sunnah sebelum Qiyas. Imam Syafie menerima ijmak sebagai hujah dalam masalah yang tidak ada keterangan di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Menurut Imam Syafie ijmak adalah ijmak ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijmak sesuatu negeri saja dan bukan pula ijmak kaum tertentu saja. Namun begitu, Imam Syafie mengakui ijmak yang paling kuat adalah Ijmak Sahabat. Maka ijmak yang dipakai oleh Imam Syafie sebagai dalil hukum adalah ijmak yang disandarkan kepada nash atau ada landasan riwayat dari Rasulullah SAW. Secara tegas ia mengatakan bahwa ijmak yang berstatusdalil hukum itu adalah ijmak sahabat.
     Imam Syafie hanya memilih Ijmak Sharih saja sebagai dalil hukum dan menolak Ijmak Sukuti sebagai dalil hukum. Alasan beliau adalah karena kesepakatan ijmak sharih itu disandarkan kepada nash dan berasal dari semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak ada lagi mengandungi keraguan. Sementara alasan menolak ijmak sukuti karena tidak menjadi kesepakatan semua mujtahid menurutnya belum tentu dianggap setuju.
     Adapun Qiyas menurut Imam Syafie juga adalah hujah dan sebagai dalil keempat setelah al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak dalam menetapkan hukum. Dan Imam Syafie juga adalah orang pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan asas-asasnya. Sedangkan mujtahid sebelumnya sekalipun belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit untuk mengetahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Maka dari sinilah Imam Syafie tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Kegunaan qiyas sebagai hujah setelah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijmak seperti mana Imam Syafie berpendapat penggunaan qiyas dibolehkan berdasarkan kepada ayat Al-Quran dari surah al-Nisa:59
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَئٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ
Artinya:   Maka apabila kamu berlainan pendapat dalam sesuatu perkara kembalikan kepada Allah dan Rasul.
     Imam Syafie menjelaskan bahwa kembalikan kepada Allah dan Rasul adalah menqiyaskan kepada salah satu dari keduanya yaitu al-Quran atau as-Sunnah.
5.  Karya-karya Imam Syafie, Murid-muridnya dan Penyebaran dan Perkembangan Mazhabnya.
     Imam Abu Hasan bin Muhammad al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafie menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fiqh, adab dan lain-lain. Kitab-kitab karya Imam Syafie dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian antaranya Imam Syafie sendiri seperti al-Umm dan al-Risalah . Kitab al-Umm berisi masalah-masalah fiqh yang dibahaskan berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam Syafie dalam al-Risalah.
    
     Selanjutnya, Kitab al-Risalah adalah yang pertama dikarang Imam Syafie pada usia yang muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abdul Rahman bin Mahdi di Makkah, karena Abdul Rahman meminta kepada beliau agar menulis suatu kitab yang mencakupi ilmu tentang arti al-Quran, hal ihwal yang bersangkutan dengan al-Quran, nasikh dan mansukh serta hadist Nabi SAW. Kitab ini dinamai ar-Risalah artinya kiriman karena ia disalin oleh murid-murid Imam Syafie kemudian dikirim ke Makkah. Kitab ar-Risalah adalah kitab yang terkenal dan masyhur karena isinya menghuraikan tentang ilmu usul fiqh serta yang mula-mula member asas ilmu fiqh dan mengadakan aturan tertentu bagi ilmu fiqh .

     Kitab yang ditulis oleh murid-murid Imam Syafie seperti Mukhtasar karangan al-Muzany dan al-Mukhtasar oleh al-Buwaiti yang mana keduanya merupakan Ikhtisar dari kitab Imam Syafie Al-Imla’wal-Amaly. Kitab-kitab Imam Syafie dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, di Irak, di Mesir dan lain-lain.

     Imam Syafie ketika datang ke Mesir pada umumnya pada ketika itu masyarakat Mesir mengikut mazhab Hanafi dan Maliki. Setelah Imam Syafie membukukan kitabnya yang berisi qaul jaded lalu ia mengajarkannya di Mesjid Amr ibn Ash, maka mulai berkembanglah pemikiran mazhabnya di Mesir. Banyak dari kalangan ulama menuntut ilmu dari Imam Syafie seperti Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam, Ismail bin Yahya, al-Buwaithi, al-Rabi’, al-Jizy, Asyhab ibn al-Qasim dan ibn Mawaz. Mereka semua adalah ulama yang mempunyai pengaruh yang luas di Mesir ,inilah antara sebab mudah tersebarnya mazhab Syafie sehingga ke seluruh pelosok dunia.[8]

6.    Wafatnya
Imam Syafie wafat pada malam jumat setelah maghrib, jasadnya dimakamkan pada hari jumat setelah asar hari terakhir pada bulan Rajab pada tahun 204 Hijriyah bersamaan 819 Masehi.[9]


[1] Dr.Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta,Logos,1997) Cet, ke- 1,h,120-121.

[2] Huzaemah tahido, Op.cit, h.121-122
[3]Syaikh Ahmad Farid, Loc.Cit, h.360
[4]Ibid,h.363
[5]Ibid, h.363-364
[6]Ibid, h.365
[7]Ibid
[8]Huzaemah Tahida Yanggo,Loc.cit, h.133-134
[9]Syaikh Ahmad Farid,Loc.Cit, h.382