Jumat, 10 Januari 2014

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD ABDUH

  A. Riwayat Hidup Muhamad Abduh 
Muhamad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 didesa mahallat nasr mesir. ayahnya bernama Abduh Hasan Khoirullah berasal dari turki. Menurut riwayat ibunya berasal dari bangsa arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar Bin Khatab.
Pendidikan Muhamad Abduh di mulai dengan balajar menulis dan membaca di rumah setelah beliau hapal kitab suci al-qur’an pada tahun 1863 ia di kirim oleh orang tuanya ke thamta untuk meluruskan bacaanya dan tajwid di masjid al-ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhamad abduh kembali ke mahallat nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar.[1]
Pada tahun 1866 dalam usia 20 tahun beliau menikah dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memaksa beliau untuk kembali ke thamta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke thamta tetapi kedesa Kani Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu agama di mesir. Syekh Darwish mendorong Muhamad Abduh untuk selalu membaca, berkat dorongan Syekh Darwish, Muhamad Abduh kembali menumbuhkan semangatnya untuk belajar dan membaca buku.
Setelah mengalami perubahan mental terhadap belajar, maka ia kembali ke masjid Ahmadi di thamtha untuk belajar. Pada tahun 1866 beliau berangkat ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Metode pengajaran di Al-Azhar masih sama dengan di masjid Al-Ahmadi yakni metode mengahapal. Kondisi Al-Azhar ketika itu berlawanan dengan kebiasaan merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku geografi, ilmu kalam dan filsafat adalah haram, sedangkan memakai sepatu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya.
Situasi dan kondisi masyarakat Muhamad Abduh beku, kaku menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal di dalam memahami syariah sementara di eropa khususnya kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal. Kondisi demikian, pada dekade selanjutnya akan berpengaruh terhadap ke adan mesir.
Namun pengaruh tersebut dirasakan Muhamad Abduh pada saat ia memasuki universitas Al-Azhar sebagai suatu lembaga pendidikan formal yang membina dan ulama-ulama terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganut pola taqlid yang merupakan kelompok yang mayoritas dan yang kedua, kelompok yang menganut pola tajdid dan merupakan kelompok minoritas. Muhamad Abduh berada di kelompok minoritas yang ketika itu di pelopori antara lain: Syekh Muhamad Al-Basyuni (ahli sastra) dan Syekh Hasan Thawil (ahli filsafat dan logika)
B. Konsep Pendidikan Muhamad Abduh 
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhamad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali masing-masing berdiri sendiri.
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkn para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tardisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral.
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
C. Urgensi Ekualisasi Dalam Pendidikan 
Salah satu proyek terbesar Muhamad Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan, dualisme pendidikan yang muncul dengan adanya institusi yang berbeda sehigga menjadi motivasi bagi Muhamad Abduh untuk berusaha keras dua pola pikir tersebut.[2]
Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usaha Muhamad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “majlis pendidikan tinggi”. Untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:

1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islal yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.
2. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, manulis, dan menghitung. disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.
Bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsif-prinsif fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhamad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhamad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
  • Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
  • Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
  • Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
  • Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
  • Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan. Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam


PENUTUP

Kesimpulan
Muhamad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 didesa mahallat nasr mesir. ayahnya bernama Abduh Hasan Khoirullah berasal dari turki. Menurut riwayat ibunya berasal dari bangsa arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar Bin Khatab.
Ia juga mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20.
Saran
            Demikianlah makalah yang singkat ini, saya menyadari banyak sekali terdapat kekurangan dan kesalahan di dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu, saya mohon maaf dan saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk menjadi lebih baik lagi dalam penulisan maupun penyusunan makalah.









[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
[2] Abdurachman Asseqaf Suyadi, Pendidikan Islam mazhab kritis. Yogyakarata: Gama Media, 2002



Kamis, 09 Januari 2014

KRITERIA BALIGH MENURUT FUQAHA DAN PENERAPAN DALAM PERUNDANG UNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN DALAM DUNIA ISLAM


A.      Problematika  Usia Dini dalam Pernikahan Islam
Isu pernikahan dini saat ini muncul di bicarakan kembali. Hal ini di picu oleh pernikahan Pujono Cahyo Widianto (Syeikh Puji), seorang hartawan sekaligus pengasuh pesantren, dengan Lutviana Ulfah. Pernikahan pria berusia 43 tahun  dengan gadis belia berusia 12 tahun ini mengundang reaksi keras dari Komnas Perlindungan Anak. Bahkan para pengamat berlomba memberikan opini yang berada menyudutkan Syekh Puji. Umumnya komentar yang terlontar memandang hal tersebut bernilai negativ. Di sisi lain, Syekh Puji, begitu ia akrab disapa, berdalih untuk mengader calon pengurus perusahaannya. Dia memilih gadis yang masih belia karena di anggap masih murni dan belum terkontaminasi arus mordenisasi. Lagi pula, dalam pandangan Syekh Puji, menikahi gadis belia bukan termasuk larangan agama[1].
Kalau ditelisik lebih jauh, fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Penulis sangat yakin bahwa nenek moyang kita dulu banyak yang menikahi di bawah umur. Bahkan-zaman dulu-pernikahan diusia “matang” akan menimbulkan preseden buruk di mata masyarakat. Perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kaseb (tua). Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, image masyarakat justru sebaliknya. Arus globalisasi yang melaju dengan kencang mengubah cara pandang masyarakat. Perempuan yang menikah pada usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan, lebih jauh lagi, hal itu dianggap menghancurkan masa depan wanita, memberangus aktivitasnya, serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Terlepas semua itu, maslah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara sarjana islam klasik dalam merespon kasus tersebut. Pendapat yang digawangi Ibnu Syubromah menyatakan bahwa Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis dan melanggengkan keturunan, dan kedua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan. Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kukungan teks dan memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan cultural yang ada. Oleh karena itu, dalam menyikapi pernikahan Nabi SAW. Dengan Aisyah (yang saat itu berusia 6 tahun), Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi SAW. Yang tidak bisa ditiru umatnya. Sebaliknya mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari Q.S At-Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah mencatat  bahwa Aisyah dinikahi  Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula, pernikahan dini merupakan hal yang lumrah dikalangan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi consensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak di anggap. Selain itu,kontruksi hukum yang dibangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan muda terpatahkan.
Imam Jalaludin Sayuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah “ Ada tiga perka yang tidak boleh diakhirkan, yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah.” Hadis Nabi kedua adalah, “Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang memepunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, anak itu berdosa  dan dosa tersebut di bebankan atas orang tua nya.[2]
Pada hakikatnya, pernikahan dini juga mempunyai sisi positif karena saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampaui batas, dan akibat kebebasan itu kerap kita jumpai menyebabkan tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukan betapa moral bangsa ini suadah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Menurut penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk meminimalisasikan tindakan-tindakan negative tersebut. Daripada terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika suadah ada yang siap untuk bertanggung jawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak? Pernikahan dini sulusi alternativ yang pas.
Lalu, bagaimana sebenarnya batasan usia baligh sebuah perkawinan dalam Islam. Memang benar sebagian negara Islam masih memberlakukan usia dini sebagaimana yang diterapkan Rasulullah SAW., tetapi sebagian besar pula Negara Islam tidak menerapkan kreteria usia pernikahan tersebut. Paparan selanjutnya akan menguraikan secara teperinci batasan usia baligh pernikahan dalam islam sehingga tidak dikategorikan sebagai usia dini pernikahan secara keseluruhan.
B.   Kreteria Usia Baligh Menurut Fuqaha
Secara tersurat, dalam Al-Qur’an tidak akan di temukan ayat yang berkaitan dengan batasan usia perkawinan, tetapi jika diteliti lebih lanjut, ada dua ayat Al-Qur’an, yaitu surah An-Nur ayat 32 dan surat An-Nisa’ ayat 6 yang memiliki korelasi denagna usia baligh terutama pada kata-kata shalihin dan rusydan.
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. An-Nur[24]:32).[3]
Dalam tafsir Al-Maraghi, kata wassalihin dimaknai sebagai laki-laki atau perempuan yang mampu untuk menikahi dan menjalankan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, mempunyai harta, dan lain-lain. Quraysh Shihab menafsirkan wassalihin, yaitu seseorang yang mampu secara mental dan spiritual untuk memebina rumah tangga, bukan dalam arti taat beragama, karna fungsi perkawinan memerlukan persiapan, tidak hanya materi, tetapi juga kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon suami maupun calon istri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indikator kesehatan mental seseorang itu sangat berkaitan dengan usia seseorang. Secara logika umum, orang yang sehat mental dan dewasa adalah orang yang usianya lebih dari anak-anak atau dapat dikatakan, matang secara kejiwaan dan pemikiran. Kata Shalihin, memberi petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki syarat meskipun bersifat umum. Kedewasaan dan kematangan identik dengan usia seseorang. Kata Shalihin sebagai cikal bakal dalam proses penetapan usia baligh sebuah pernikahan.
Kajian usia baligh dapat lacak kembali pada kata rusydan  dalam surat An-Nisa’ ayat 6 sebagai berikut.
(#qè=tGö/$#ur 4yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä öNåk÷]ÏiB #Yô©â (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù's? $]ù#uŽó Î) #·#yÎ/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x. #ZŽÉ)sù ö@ä.ù'uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/ 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& (#rßÍkô­r'sù öNÍköŽn=tæ 4 4xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (Q.S. An-Nisa’ [4]:6)[4]
Begitu pula dalam tafsir Al-Misbah, maka kata dasar rushdan adalah ketetapan dan kelurusan jalan. Dari sini, lahir kata rushd yang bagi manusia adalah kemampuan akal dan jiwa yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Al-Maraghi menafsirkan dewasa  (rushdan), yaitu apabila sesorang memahami baik cara menggunakan harta serta membelanjakannya, sedangkan balighu al-nikah ialah jika umur telah siap untuk menikah. Ini artinya Al-maraghi menginterpretasi bahwa orang yang belum dewasa tidak boleh di bebani persoalan-persoalan tertentu. Menurut Rasyid Ridha, kalimat balighu al-nikah menunjukan bahwa usia seseorang untuk menikah, yakni sampai ia bermimpi. Pada umur ini, sesorang telah bisa melahirkan anak dan memberikan keturunan sehingga tergerak hatinya untuk menikah. Kepadanya juga dibebankan hukum-hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu, rushdan adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasarruf serta mendatangkan kebaikan.
Tafsiran pada kata Shalihin dan rusydhan memberikan sinyal yang kuat bahwa kedewasaan atau baligh identik dengan usia seseorang secara umum. Dalam hal ini, Al-Qur’an hanya memberikan isyarat umum tentang cara menetapkan seseorang itu baligh atau tidak baligh. Penafsiran kedua ayat di atas menunjukan  bahwa kedewasaan dapat di tentukan dengan mimpi dan rushdhan, tetapi rusdhan dan umur kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi ada kalanya belum rushdan  dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-hari. Oleh karenaitu, kedewasaan pada dasarnya dapat di tentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda. Dalam hadis yang diriwayatkan Aisyah disebutkan.[5]
Dari Aisyah r.a dari nabi SAW. bersabda, “terangkat qalam ( pertanggungjawaban ) dari tigal hal, orang yang tidur hingga ia terbangun, anak kecil hingga ia mimpi, dan orang gila hingga ia siuman (sembuh) dan sadar.” (H.R. Ahmad dan Empat Imam, kecuali Tirmidzi)
Makna esensial hadis diatas secara tersurat tidak mengisyaratkan batas usia baligh. Ia hanya menjelaskan tanda-tanda baligh (alamatuhu al-baligh), seperti mimpi bagi anak laki-laki dan haid bagi perempuan. Secara eksplisit, para fuqaha tidak sepakat terhadap  batas usia baligh bagi seseorang itu belum tentu menunjukan kedewasaannya, dengan alas an beberapa pendapat mazhab berikut.
Menurut sebagai fuqaha, ketentuan baligh maupun dewasa bukanlah persoalan yang di jadikan pertimbangan boleh tidaknya seseorang untuk melaksanakan perkawinan. Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa ayah boleh mengawinkan anak perempuan kecil yang masih perawan (belum baligh), demikian juga neneknya apabila ayah tersebut tidak ada. Adupu Ibn Hazm dan Shubromah berpendapat bahwa ayat tidak boleh mengawinkan anak perempuan yang masih kecil, kecuali ia sudah dewasa dan mendapat izin dari padanya.
Fakta sejarah memperlihatkan bahwa batsan usia perkawinan dicontohkan oleh perkawinan Nabi SAW. dengan Aisyah yang berusia 9 tahun dan 15 tahun sebagaimana hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abu Kuraib
Artinya: “Rasulullah SAW. menikah dengan dia (Aisyah) dalam usia enam tahun, dan beliau menboyongnya ketika ia berusia Sembilan tahun dan beliau wafat pada waktu ia berusia 18 tahun.” ( H.R Muslim ).
Adapun batasan 15 tahun sebagaimana riwayat Ibnu Umar:
Artinya: “Aku telah mengajukan diri kepada Nabi SAW., untuk ikut Perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, dan beliau tidak mengizinkan aku. Aku mangajukan diri lagi kepada beliau tatkala Perang Khandak, ketika umurku 15 tahun, dan beliau membolehkan aku ( untuk mengikuti perang ).[6]
Mengkaji pandangan para fuqaha tentang usia baligh sebuah pernikahan dapat disimpulkan bahwa dasar minimal pembatasan adalah 15 tahun, meskipun Rasulullah menikahi Aisyah pada usia 9 tahun. Satatus usia  9 tahun ini pada masa itu terutama Madinah tergolong dawasa. A. Rofiq menyatakan bahwa:
“batasan usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaaan bagi anak laki-laki. Karena biasanya pada usia tersebut, anak laki-laki telah mengeluarkan mani melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan, 9 tahun – untuk daerah seperti madinah- telah di anggap memiliki kedewasaan. Ini didasarkan pada Aisyah ketika dinikahi oleh Rasulullah SAW. atas dasar hadis tersebut, dalam kitab kasyifah As-Saja dijelaskan, Tanda-tanda dewasanya (baligh) seseorang itu ada tiga, yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi pria dan wanita, bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan perempuan pada usia 9 tahun, dan haid (mentruasi) bagi wanita 9 tahun. Ini dapat di kaitkan juga dengan perintah Rasulullah SAW, kepada kaum muslimin agar mendidik anaknya menjalankan shalat pada saat berusia tujuh tahun, dan memukulnya pada usia sepuluh tahun apabila si anak enggan menjalankan shalat.”
Realisasi  dari hadis tersebut adalah adanya kesepakatan secara wajar bahwa bagi calon mempelai yang kurang dari 19 tahun, atau 16 tahun bagi wanita, boleh melangsungkan pernikahannya karena mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Ini menunjukan bahwa konsep pembaharuan hukum islam itu bersifat ijtihadi. Disamping itu pemahaman terhadap nash, terutama yang di lakukan oleh Rasulullah  pada saat menikah dengan Aisyah, juga perlu dipahami seiring dengan tuntunan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting karena tuntutan kemasalahatan yang ada waktu itu  disebanding dengan sekarang., jelas berbeda.
Ulama mazhab figh sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti baligh seorang wanita. Hamil terjadi karena terjadinya pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma bagi laki-laki..
Imammiyah, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali mengatkan: Tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Adapun Hanafi menolaknya sebab bulu ketiak itu tidak ada berbeda dengan bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Syafi’I dan Hanbali  menyatakan bahwa usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun, sedangkan Maliki menetapkan 17 tahun. Sementara itu, Hanafi menetapkan usia balgh bagi anak laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan anak perempuan 17 tahun. (Ibn Qudamah, Al-mughni, Jilid IV)[7]
Pandangan Hanafiyah dalam hal usia baligh diatas adalah batas maksiamal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun untuk anak laki-laki, dan 9 tahun untuk perempuan. Sebab, pada usia tersebut, seoarang anak laki-laki dapat mimpi mengeluarkan sperma, menghamili, atau mengeluarkan mani (di luar mimpi), sedangkan pada anak perempuan dapat mimpi, hamil, atau haid.
Apabila di analisis, pandapat Hnafiyah tampaknya didasarkan pada logika semata bahwa secara tertulis hadis tersebut menyatakan 15 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Adapun batas minimalnya  adalah 12 tahun bagi anak laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan. Dengan demikian, usia maksimuim adalah 15 tahun bagi keduanya apabila ingin melangsungkan pernikahan.
Imamiyah, menetapkan usia baligh anak laki-laki adalah 15 tahun, sedangkan anak perempuan 9 tahun, berdasarkan hadis Ibnu Sina berikut:
”Apabila anak perempuan telah mencapai 9 tahun, hartanya diserahkan kepadanya, urusannya di pandang  boleh, dan hukum pidana  dilakukan atas haknya dan terhadap dirnya secara penuh.”
Berdasarkan hadis diatas. Imamiyah menetapkan standar usia baligh adalah 15 tahun bagi anak laki-laki dan 9 tahun  bagi perempuan. Tidak ada penafsiran usia maksimum dan minimum baik bagi laki-laki maupun perempuan
Secara empiris dan sejalan dengan perubahan hukum di masing-masing negara, terutama dalam wacana modern, batas minimal menikah ini memiliki perbedaan di tiap-tiap Negara. Meskipun secara garis besar, usia baligh untuk menikah berkisar anatar umur 15-21 tahun.


[1]Dedi Supriyadi, Fiqih Munakahat Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia.2011), cet ke-I, hlm. 57
[2] Ibid, hlm 59
[3] Ibid, hlm 60
[4] Ibid, hlm 61
[5] Ibid, hlm 62
[6] Ibid, hlm 63
[7] Ibid, hlm 65